REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof. Bambang Setiaji, Rektor Univeristas Muhammadiyah Kalimantan Timur, Anggota Dewan Pakar Ekonomi Syariah Pusat.
Menarik sekali wacana dua tokoh bangsa, Buya Dr Anwar Abbas dan Presiden Joko Widodo, waca terjadi pada saat Kongres Ekonomi Umat Ke 2 MUI Tahun 2021, Jakarta, 10 Desember 2021. Buya menyampaikan masalah ketimpangan ekonomi, dari sisi Gini Rasio memang sedikit membaik menurun dari 0,41 menjadi 0,39. Namun demikian dari sisi distribusi aset, terutama tanah, ketimpangan besar sekali. Satu persen penduduk mengusai lebih dari 60 persen tanah.
Penggunaan tanah untuk komoditi baik sawit, karet, bubur kertas, kayu dan pertambangan mencapai 80 persen dan penyediaan pangan yang 20 persen. Kebutuhan panan banyak tergantung kepada impor, yang menyebabkan kerawanan ketahanan pangan.
Presiden menjawab bahwa ketimpangan tersebut benar dan menjadikan kegalauan beliau, presiden menyampaikan bahwa pemerintah sudah menginisiasi bank tanah dengan meminta kembali tanah tanah terlantar. Tanah itu akan diredistribusi kepada masyarakat. Dengan program ini diharapkan ketimpangan penggunaan tanah diharapkan akan semakin baik di masa depan.
Kebijakan Ekonomi Berbasis SDM
Presiden menantang agar umat atau rakyat melalui Buya AA mengajukan proposal penggunaan tanah kepada presiden. Gagasan presiden ini orisinal karena text yang disiapkan tidak dibaca lagi. Ini merupakan spontanitas yang luar biasa.
Bila tantangan tersebut ditindak lanjuti menjadi kebijakan pemerintah yang serius maka perubahan signifikan struktur ekonomi ke depan bisa diharapkan. Sekarang ini terjadi konsentrasi aset khususnya tanah dan dana perbankan ke tangan beberapa entitas, yang membentuk struktur ekonomi oligoplistik. Oligopolistik membentuk pagar pagar sehingga mengahalangi pemain baru.
Konstitusi mengamanatkan agar ekonomi disusun dengan egaliter melibatkan banyak pemain dan bersifat kerakyatan. Bila tantangan presiden direalisir dengan misalnya setiap kelompok sarjana pertanian, peternakan, perkebunan dipinjami tanah yang cukup dan dipinjami juga alat alat produksi terutama alat berat, maka pemain di bidang ini akan banyak, bersifat lebih kerakyatan, hal tersebut membuat srtuktur ekonomi yang lebih dekat dengan rumusan konstitusi dan lebih dekat juga dengan ekonomi syariah.
Sistem tersebut lebih sesuai dengan konstitusi yang dirumuskan dalam UUD 45 adalah sistem yang berbasis SDM. Berbasis keahlian. Pembagian ijin mengolah tanah jangan berbasis kepada modal, tetapi berbasislah kepada sekumpulan sarjana pertanian-peternakan-perkebunan-pertambangan. Setiap sejumlah orang tertentu dipinjami tanah dan alat berat untuk mengolah tanah itu. Bentuknya bukan BUMN yang ternyata menggerogoti uang negara. Bentuk yang pas adalah bagi hasil yang sudah dikenal luas di masyarakat yang disebut maro (50 – 50), mertelu (70 – 30), dan mrapat (75 – 25), tergantung kebijaksanaan negara. Dalam bahasa agama bagi hasil itu disebut syrikah wamudharabah.
Sarjana sarjana ini ditugasi menyediakan pangan rakyat untuk ketahanan bangsa. Dan juga untuk menjaga marwah bangsa dan umat Islam yang mengajarkan makanan halal yang disembelih dengan memohon ijin kepada Allah dengan mengucap bismillah, karena bagaimanapun menumpahkan darah hewan. Dengan demikian para pemain ekonomi akan menjadi banyak atau egaliter, merata bahkan sejak sebelum dibagi atau sejak produksi dilakukan. Sistem yang berbasis SDM lebih sesuai dengan konstitusi dan ajaran agama. Sebaliknya sistem berbasis modal adalah sistem yang dikecam sejak jaman kolonial. Yang mendorong para pejuang memerdekakan bangsa. Tanam paksa yang ditulis dalam sejarah menggunakan tanah 20 persen untuk tanaman komoditi penjajah kolonial, dan sekarang tanah yang digunakan pemodal sudah mencapai 80 persen tentu efeknya lebioh dahsyat daripada aman kolonial.
Demikian industri indsurti vital yang lain, termasuk di dalamnya lisensi atau ijin impor hendaknya dibagikan dengan kebijaknasaan atau ada usaha nyata sesuai atau menuju sistem yang digambarkan dalam konstitusi. Para santri hendaknya menyadari masalah ini dan menyuarakannya untuk memperbaiki struktur ekonomi di masa depan.
Selama ini lisensi tanah diberikan kepada entitas yang berbasis modal dan bertujuan untuk menanam komoditi yang ditujukan untuk pasar dunia. Ditengari juga bahwa pemberian lisensi besar besaran itu kemungkinan besar terdapat bias. Konsensus dua tokoh bangsa tersebut bila benar diwujudkan akan merubah ekonomi yang berbasis modal berubah menjadi ekonomi berbasis SDM yang berbasis keahlian, yaitu berbasis para sarjana.