Oleh : Fuji Pratiwi, Jurnalis Republika
REPUBLIKA.CO.ID, Pada 27 Desember 2021 lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meresmikan pembangunan RS Internasional Bali di Sanur, Bali. Ia menyebut, devisa Indonesia terkuras sekitar Rp 97 triliun per tahun untuk keperluan berobat dua juta orang Indonesia ke luar negeri, seperti ke Malaysia, Singapura, hingga Amerika Serikat. Salah satu tujuan pembangunan RS Internasional Bali ini juga untuk mendorong pariwisata Bali.
Wisata kesehatan dan kebugaran bukan hal baru di dunia. Meski memang Indonesia agak terlambat melihat peluang bisnis ini secara saksama. Negeri jiran seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand sudah mulai lebih dulu.
Dalam laporan Antara, pada Kamis (30/12), Organisasi Insan Pariwisata Indonesia (IPI) menyampaikan, Global Wellness Institute mendata, ekonomi global bisnis kebugaran mencapai 4,5 triliun dolar AS. Sementara pasar wisata kesehatan global, menurut Data Bridge Market Research 2020, akan mencapai 269 miliar dolar AS pada 2027.
Melihat sektor pariwisata yang memiliki jejaring yang luar ke sektor-sektor bisnis lain, bukan tidak mungkin sektor-sektor bisnis lain ikut bergerak dengan hadirnya wisata kesehatan dan kebugaran di Tanah Air. Terlebih pada saat pandemi Covid-19 seperti sekarang dimana orang mencari hal-hal sehat, higienis, dan seimbang.
Wisata kesehatan dan kebugaran ini juga tidak melulu rumah sakit. Indonesia sudah punya modal berbagai acara olahraga internasional seperti Tour de Singkarak dan Sungailiat Triathlon. Yang terbaru ada WSBK, MotoGP, dan Formula E.
Indonesia juga punya beragam herbal yang bisa diramu untuk produk kecantikan. Bisa pula dengan pendekatan body and soul balance seperti olahraga yoga atau wisata kuliner sehat yang amat kaya dimiliki Indonesia.
Yang Halal Juga
Soal pasar incaran, agaknya wisata kesehatan dan kebugaran perlu melihat potensi petrodolar melalui wisatawan Timur Tengah. Menurut Global Medical Tourism Market Report (Orbis Research) dan Frost & Sullivan, rata-rata pertumbuhan tahunan wisata medis antara 2016-2021 sekitar 18,8 persen.
Nilainya pada 2016 sebesar 19,7 miliar dolar AS dan pada 2021 ditaksir senilai 46,6 miliar dolar AS.
Wisata medis halal bisa diartikan sebagai layanan kesehatan yang menyediakan fasilitas dasar kebutuhan wisatawan atau pasien Muslim untuk ibadah dan makan, selain juga dikombinasikan dengan unsur melancong. Di bisnis ini, India, Malaysia, Singapura, dan Thailand sudah tak asing.
Untuk bisnis wisata kebugaran, Indonesia sudah punya spa halal. RS yang sesuai syariah juga sudah ada beberapa. Makanan halal yang sehat, juga banyak. Tinggal, seberapa mau Indonesia memaksimalkan dan mendukung yang halal ini?
Sebab pada dasarnya, wisata halal adalah layanan tambahan sesuai permintaan pasar. Indonesia sedang mengincar dolar dari pasar nontradisional. Maka, saya pikir tak ada salahnya memperbanyak variasi wisata termasuk meningkatkan wisata halal sebagai upaya menarik minat wisatawan yang lebih beragam.
Menunggu Regulasi
Dilansir Republika pada medio Desember 2021, Ketua PHRI Hariyadi Sukamdani sempat menyebut medical tourism merupakan bagus, tapi apakah IDI mendukung?
Kata Hariyadi, IDI harus mendukung, karena kalau tidak mendukung akan susah. Sebab perlu regulasi untuk membuat ekosistem yang lebih baik.
Sebagai tambahan, Mukisi, Perhimpunan Pariwisata Halal Indonesia, dan DSN MUI juga perlu diajak untuk mengembangkan wisata kesehatan dan kebugaran yang halal. Sependek pengetahuan saya, Mukisi sudah punya panduan soal wisata halal. Kalaupun belum, saya yakin mereka bersedia membuka diri.