Selasa 22 Feb 2022 05:21 WIB

Sikap Arif dan Bijak Islam Terhadap Tradisi

Islam pada faktanya sangat akomodatif dengan tradisi masyarakat tertentu.

Islam pada faktanya sangat akomodatif dengan tradisi masyarakat tertentu. Foto Ustadz Khalid Basalamah melakukan klarifikasi terkait kontroversi ceramah mengenai persoalan wayang.
Foto: Dok. Pribadi
Islam pada faktanya sangat akomodatif dengan tradisi masyarakat tertentu. Foto Ustadz Khalid Basalamah melakukan klarifikasi terkait kontroversi ceramah mengenai persoalan wayang.

Oleh : Nashih Nashrullah, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Polemik wayang yang muncul dari tanya jawab pendakwah Ustadz Khalid Basalamah (yang kemudian disusul dengan klarifikasi), justru menyisakan satu persoalan lagi terkait dengan pernyataan Sang Pendakwah. Diskusi yang saya maksud apakah Islam antitradisi? Ini terlihat jelas dalam kalimat klarifikasi Sang Pendakwah yang menyatakan untuk tidak menjadikan tradisi sebagai Islam.

Penulis mencoba mengajak pembaca untuk menakar pernyataan tersebut dengan melacak hubungan Islam dan tradisi, dan saya hanya akan membatasi diskursus ini dalam perspektif ushul fiqih. Salah satu disipilin ilmu yang menekankan pada pembacaan teks dan konteks dengan prinsip landasan maqashid syariaah yang sangat kental. Dalam klarifikasi resminya @khalidsasalamahofficial, Senin (14/2/2022) tertulis demikian:  "Dan saya pada saat ditanyakan masalah wayang, saya mengatakan alangkah baiknya dan kami sarankan, kami sarankan agar menjadikan Islam sebagai tradisi. Jangan menjadikan tradisi sebagai Islam. Dan tidak ada kata-kata saya di situ mengharamkan. Saya mengajak agar menjadikan Islam sebagai tradisi. Makna kata-kata ini juga kalau ada tradisi yang sejalan dengan Islam, tidak ada masalah dan kalau bentrok sama Islam, ada baiknya ditinggalkan. Ini sebuah saran."

 

“Kami sarankan agar menjadikan Islam sebagai tradisi. Jangan menjadikan tradisi sebagai Islam,” demikian kata Sang Pendakwah yang memantik diskusi klasik, apakah Islam anti-tradisi? Kalimat sekilas sangat Islami, tetapi pada dasarnya malah tercerabut secara mendasar dari akar Islam itu sendiri.

 

Mengapa saya bilang tercerabut mendasar, karena Islam pada faktanya sangat akomodatif dengan tradisi masyarakat tertentu. Tradisi dalam pengertian bahasa (KBBI), dimaknai sebagai dua hal yaitu adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat dan kedua penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar.

Pengertian ini, menurut penulis, sejalan dengan apa yang dimaksudkan para ulama klasik kita. Imam Al-Jurjani (w 1001 M), dalam kitabnya at-Ta’rifat, mendefisikan tradisi sebagai segala sesuatu yang diterima jiwa manusia dari perkara-perkara rasional dan berulang menurut nurani yang benar.

Definisi inipun lantas banyak mengilhami ulama pada masa berikutnya, seperti Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Mustashfa, ataupun Ibnu Abidin (w 1836 M) dalam Rasail Ibnu Abidin. Nama yang terakhir ini menekankan kesamaan antara pengertiaan adat dan urf. Meski ada perbedaan definisi, tetapi subtansi kedua istilah tersebut sama. Ibnu Abidin pun lantas menjelaskan bahwa tradisi itu ada dua perbuatan dan verbal.

 

Ibnu Abidin memberikan contoh, jika seseorang dalam komunitas Muslim menyatakan ‘belilah daging’ maka yang dimaksud tentu adalah daging halal yang memang menjadi santapan sehari-hari seperti daging ayam atau kambing. Atau ketika seseorang menyebut uang, maka yang dimaksud adalah dirham di negara dimana dirham menjadi alat pembayaran, demikian penjabaran Ibnu Abidin.

 

Ini sama juga ketika pembayaran zakat fitrah mengapa kita Muslim Indonesia diperbolehkan membayarnya dengan beras, bukan gandum. Dalam definisi fiqihnya, ma yaquutu ahlu biladih. Yang menjadi tradisi pangan negara tertentu. Ibnu Abidin kembali menekankan, bahwa tradisi yang umum berlaku untuk semua umat, sementara tradisi khusus yang hanya terbatas pada komunitas daerah tertentu, berlaku hanya untuk komunitas itu sendiri. 

 

Kita akan lebih jelas lagi melihat betapa Islam sangat akomodatif dengan tradisi dalam konteks penafsiran surat Al Baqarah ayat 233 tentang takaran yang diijadikan standar kewajiban seorang ayah atau suami dalam memberikan nafkah kepada istri dan anaknya. “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara makruf.” Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Quran al-Adhim berpendapat, standar atau takaran kewajiban tersebut adalah tradisi atau adat yang berlaku di wilayah tertentu, dengan memperhatikan prinsip kesederhanaan sekaligus keseimbangan tanpa berlebih-lebihan atau pelit, sesuai dengan kemampuan sang suami. Pernyataan serupa bisa kita jumpai dalam Fath Al-Qadir al-Jami’ baina Fannay ar-Riwayah wa ad-Dirayah min ‘Ilmi at-Tafsir karya Imam as-Syaukani. Imam Al-Bukhari bahkan sampai menulis bab secara khusus terkait hadits-hadits seputar tradisi atau adat yang berimplikasi krusial terhadap hukum Islam. Mulai dari perdagagan, sewa menyewa, timbangan, dan lain sebagainya.  

 

Sementara itu,  Imam Al-Qarafi (w 1285 M) Al-Ahkam fi Tamyiz al-Fatwa an al-Ahkam wa Tasharrufat al-Qadhi wa al-Imam, menyatakan ‘adopsi’ tradisi sebagai rujukan dalam hukum Islam merupakan konsensus atau kesapakatan ulama. Dengan demikian, pemberlakuan hukum yang muaranya adalah adat atau tradisi sementara tradisinya lama sudah berubah, bisa dianggap menyalahi konsensus dan bentuk kebodohan dalam agama. Al-Qarafi bahkan sangat tegas menyatakaan bahwa syariat itu //ya// mengikuti tradisi yang disepakati.

 

Imam as-Syathibi (w 1388 M), menganalisis mengapa tradisi tidak bisa lepas dari Islam, karena adanya maslahat di dalamnya. Legalisasi sebuah hukum (tasyri’) adalah demi terwujudnya sebuah maslahat. Keduanya saling berkaitan satu sama lain. Seandainya tradisi itu tidak dianggap, tentu akan memicu takli/ perkara yang di luar kemampuan. Hal ini tidak dibenarkan.

 

Menurut Imam as-Syathibi sikap akomodatif terhadap tradisi itu juga sangat fleksibel. Penjelasannya demikian, hukum Islam juga bisa berubah, seandainya tradisi dalam komunitas tertentu itu baik sementara dalam komunitas lain tradisi yang sama menilainya buruk. Imam as-Syathibi mencontohkan, menutup kepala bagi lelaki adalah bentuk kemuliaan di negara-negara Timur. Lain halnya dengan negara Maghrib. Tentu hukum syariatnya pun berbeda.

 

Dengan demikian, sikap akomodatif dan adaptif Islam terhadap tradisi merupakan akar Islam itu sendiri. Dari sini kemudian muncul beragam kaidah-kaidah lain dalam menyikapi tradisi. Sebagai contoh, jika tradisi tertentu bertentangan dengan Islam, maka tidak perlu dibuang sepenuhnya. Mala yudraku kulluh la yutraku kulluh. Seandainya tradisi tersebut bertentangan, isi tradisi tersebut dengan nilai Islam secara arif, bijaksana, dan gradual. Bukankah kebesaran dan keluhuran Islam berdiri di atas kearifan dan kebijaksanaan itu?   

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement