Kamis 03 Mar 2022 09:02 WIB

Ilmuwan Akhirnya Temukan Potensi Penyebab Long Covid dan Pengobatannya

Ilmuwan temukan keterkaitan antara long covid dan kerusakan saraf jangka panjang.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Ilmuwan temukan keterkaitan antara long covid dan kerusakan saraf jangka panjang.
Foto: Pixabay
Ilmuwan temukan keterkaitan antara long covid dan kerusakan saraf jangka panjang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah studi telah menawarkan petunjuk baru tentang potensi penyebab gejala long covid dan kemungkinan pengobatannya. Studi kecil yang melibatkan 17 orang ini dilakukan oleh para peneliti dari Massachusetts General Hospital dan National Institute of Health dengan meneliti gejala dibalik long Covid dan menemukan bahwa itu mungkin terkait dengan kerusakan saraf jangka panjang.

Anne Louise Oaklander, profesor neurologi di Harvard University dipercaya memimpin studi yang berlangsung dari 2020 hingga 2021. Namun, dia memperingatkan bahwa ini adalah hasil awal dari kumpulan data yang sangat kecil dan bias, karena pasien yang diteliti sudah didiagnosa memiliki kondisi neurologis oleh dokter mereka.

Baca Juga

Namun demikian, temuan penelitian ini dapat membuat para peneliti selangkah lebih dekat untuk memahami penyebab long Covid. WHO mengartikan ini sebagai konstelasi gejala jangka panjang yang dialami beberapa orang setelah menderita Covid-19.

Evaluasi dari 17 pasien yang diteliti menemukan bukti neuropati perifer pada 59 persen dari mereka atau 10 orang. Gangguan neurologis neuropati perifer adalah istilah umum untuk kerusakan saraf yang menghubungkan otak ke dunia luar. Gejala umum termasuk kelemahan, perubahan sensori kelelahan dan nyeri di tangan dan kaki.

"Yang kami tanyakan adalah, dapatkah sebagian dari apa yang terjadi dengan long Covid sebenarnya mencerminkan neuropati perifer yang tidak terdiagnosis?" kata Oakland seperti dilansir dari NBC News, Kamis (3/3/2022).

Hasilnya, menunjukkan bahwa small-fiber neuropathy, yang berarti kerusakan yang terjadi pada serabut saraf perifer, adalah bentuk yang paling umum.

"Itu benar-benar poin pertama: Kami menemukan masalah medis objektif yang nyata pada lebih dari separuh pasien ini," kata Oakland sembari menambahkan bahwa tidak ada korelasi antara seberapa parah atau ringan kasus Covid-19 dan jenis kerusakan saraf.

Menemukan kemungkinan hubungan antara gejala long covid yang umum seperti kesulitan menjalani aktivitas normal, pingsan, detak jantung cepat, sesak napas, kesulitan kognitif, nyeri kronis, kelainan sensorik, dan kelemahan otot, bisa menjadi langkah kecil untuk menemukan alternatif pengobatan.

Neuropati perifer sangat cocok dengan kerangka medis yang mapan sebagai diagnosis yang dapat diterima dari dokter dan untuk itu ada beberapa pilihan pengobatan. Namun long Covid masih misterius, dan pemahaman medis tentangnya terus berkembang. Sampai sekarang, itu tidak dapat didiagnosis secara teknis.

Oaklander berharap studi baru ini meningkatkan gambaran para ahli tentang long Covid. “Bagi saya pertanyaan selanjutnya adalah, seberapa umum ini? Apakah ini masalah besar yang merupakan terobosan total, atau apakah ini akan mempengaruhi 1 persen pasien? Aku tidak bisa memberimu satu jawaban pun,” kata Oakland.

Dr Fernando Carnavali, yang memimpin Center for Post -Covid di Mount Sinai Hospital di New York City, melihat penelitian ini sebagai satu bagian kecil dari sejumlah besar penelitian yang dilakukan untuk menyelidiki long covid.

Namun, dia khawatir bahwa penelitian baru ini dapat memberikan harapan yang salah. Meskipun mungkin ada hubungan neurologis untuk beberapa orang dalam penelitian ini, kemungkinan itu tidak akan menjadi diagnosis yang cocok untuk orang lain. Karena itulah, dia menyarankan untuk lebih berhati hati dalam menarik kesimpulan ihwal long covid.

"Kita perlu mengantongi lebih banyak informasi sebelum kita berbagi sesuatu seperti ini dengan pasien, hanya untuk memastikan bahwa kita tidak mengerahkan mereka lebih dari yang bisa ditangani. Kami tahu bahwa orang-orang ini tidak dapat benar-benar memaksakan diri, baik secara kognitif maupun fisik atau emosional, jadi Anda harus berhati-hati,” kata Carnavali.

Oaklander juga mendorong kehati-hatian untuk studinya, dan mencatat bahwa dia dan peneliti lain hanya mengusulkan hubungan antara small-fiber neuropathy dan Covid, yang tidak berarti kausalitas.

"Tentu itu yang kami pikirkan, tetapi sangat sulit untuk membuktikan 100 persen. Anda harus melakukan eksperimen yang jauh lebih ketat, itulah yang ingin kami lakukan,” kata Oakland.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement