REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Darmawan Sepriyossa, mantan Jurnalis Republika.
Barangkali, dalam kehidupan sehari-hari kita pernah menjumpai dialog seperti ini:
Dadap : “Seharusnya rokok dilarang, makruh secara hukum agama, tidak baik pula untuk kesehatan.”
Waru : “Lho, mengapa gula tidak dilarang juga? Gula juga tidak menyehatkan, menyebabkan diabetes, penyakit pembunuh nomor tiga di Indonesia.”
Atau yang saat ini lebih sering terdengar :
Pitih : “Kasihan, sudah banyak anak-anak, ibu rumah tangga dan orang lanjut usia meninggal dalam serangan Rusia di Ukraina…”
Fulus : “Alah, belum juga satu semester. Berapa banyak warga Irak, Libia, Palestina yang meninggal sejak sekian tahun lalu karena kekejian Amerika?”
Apa yang kita dengar tersebut dalam kajian yang lebih serius disebut sebagai “Whataboutisme”, kadang disebut pula “Whataboutery”. Kata ini cenderung peyoratif, artinya memiliki makna yang negatif. Selain dikenal sebagai bagian dari teknik propaganda—yang biasanya senantiasa penuh bias-- Oxford Dictionaries merujuk kata itu pada teknik retorika seseorang sekadar untuk membelokkan tudingan atau fakta yang disampaikan orang lain.
Lebih jauh, umumnya orang menunjuk “Whatabout-isme” sebagai sebuah kesesatan berpikir yang membuat suatu diskusi menjadi tidak kondusif, cenderung hanya debat kusir. Para pemeluk teguh--dalam bahasa filsuf AS, Erick Hoffer, ‘true believers’—dari “Whataboutisme” dalam keseharian biasanya lebih dikenal sebagai kaum ‘denial’.
Menurut Ben Zimmer, seorang leksikografer (ilmu bahasa yang mempelajari teknik penyusunan kamus) terkemuka, istilah ini mulai muncul dalam konflik Inggris Raya-Irlandia (utara) di tahun 1970-an. Zimmer mengutip sebuah surat terbuka yang dilansir seorang guru sejarah, Sean O'Conaill, yang diterbitkan “The Irish Times”. Saat itu ia mengeluhkan indikasi kuat "Whatabouts" dari orang-orang yang membela kelompok perlawanan Irlandia Utara (IRA), dengan menunjuk-nunjuk perilaku dan kesalahan musuh mereka, terutama Inggris.
Dalam surat terbuka berjudul “Surat untuk Editor” yang dimuat 30 Januari 1974 itu, Sean O'Conaill menunjukkan beberapa ‘Whataboutisme”, misalnya: “Kalau IRA disalahkan, bagaimana dengan kekejian tentara (Inggris) pada peristiwa ‘Minggu Berdarah’, kamp interniran, sekian jenis penyiksaan, serta intimidasi?"