Oleh: Muhammad Yuanda Zara
Di bagian sebelumnya, telah dibahas bahwa kiprah Suara Muhamamdiyah sebagai sebuah majalah Islam mendapat pengakuan dari pers Belanda. Ini tampak dari setidaknya dua laporan bertajuk Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche Pers (Tinjauan Umum tentang Pers Pribumi dan Pers Cina-Melayu) yang terbit pada 22 Januari 1923 dan 8 Januari 1924.
Laporan ini memberikan informasi secara reguler kepada publik Hindia Belanda, khususnya orang Belanda, tentang peta termutakhir pers di Hindia Belanda. Di dalamnya disediakan daftar berisi koran dan majalah yang terbit di Hindia Belanda, lengkap dengan kota terbit, afiliasi organisasinya (bila ada), orientasi ideologisnya, serta nama pemimpin redaksinya. Dalam beberapa kesempatan disarikan juga berita-berita penting yang dimuat oleh media cetak tersebut.
Pada tahun 1924, nama Suara Muhammadiyah (kala itu masih bernama Soeara-Moehammadijah) tidak hanya sekali masuk ke dalam daftar yang diterbitkan oleh Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche Pers. Dua minggu setelah laporan tanggal 22 Januari 1924 terbit, muncul satu lagi laporan Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche Pers ini. Sebelumnya, telah diketahui bahwa pada laporan pers tanggal 8 Januari 1924 dikemukakan bahwa di dalam daftar ‘Godsdienstige Bladen’ (Majalah-majalah Keagamaan) terdapat 19 media cetak keagamaan di seluruh Hindia Belanda.
Pada laporan yang terbit tanggal 5 Februari 1924 ini jumlahnya masih tetap 19 media. Namun, ada nama media lama yang hilang dan ada nama media baru yang muncul dalam dua minggu itu. Yang hilang dalam daftar terbaru itu ialah majalah Pelita-Islam (berbahsa Melayu, dipimpin oleh Maradja Sajuthi Lubis, dan terbit dua kali sebulan di Samarinda). Tidak disebutkan alasan mengapa Pelita-Islam hilang dari daftar, namun bisa jadi karena majalah ini telah berhenti terbit. Adapun media cetak lain yang menggantikan Pelita-Islam dalam daftar itu ialah majalah Taman-Islam yang berbahasa Melayu, dipimpin oleh H. Mahmoed Pauzi, berorientasi Islam, dan terbit dua kali sebulan di ‘Bat. Toroe’, yang agaknya mengacu pada Batang Toru di Sumatera Utara.
Dua bulan kemudian, dalam laporan Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche Pers yang terbit pada 15 April 1924, jumlah media cetak keagamaan di Hindia berkurang dari 19 menjadi 15. Artinya, dalam waktu dua bukan itu ada 4 media cetak keagamaan yang hilang, dan tidak ada media cetak keagamaan baru yang muncul. Media cetak yang hilang antara lain Taman-Islam (yang pernah muncul sekali di laporan bulan Februari 1924) dan media cetak Kristen yang terbit di Malang, Sabidji-Sawi. Suara Muhammadiyah sendiri masih tetap berada di dalam daftar itu. Situasi ini menunjukkan bahwa adalah kemunculan dan hilangnya media cetak adalah hal biasa di masa itu, mengingat masih rendahnya kemampuan literasi pembaca pribumi kala itu.
Tapi beberapa media cetak rupanya tetap bisa bertahan. Suara Muhammadiyah misalnya. Ini tampaknya disebabkan oleh kehadiran majalah ini sebagai media suatu organisasi yang berorientasi kemajuan dan sudah berumur satu dekade lebih, apalagi mengingat bahwa pada masa itu majalah ini sudah menggunakan bahasa Melayu yang lazim dipakai sebagai lingua franca di Hindia Belanda. Semakin banyaknya pers pribumi yang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar memperlihatkan transformasi bahasa ini dari bahasa perantara perdagangan di abad-abad sebelumnya menjadi bahasa yang memfasilitasi diseminasi gagasan dan komunikasi lintasetnis. Basis pembaca Suara Muhammadiyah, dengan demikian, sudah terbentuk bahkan terus berkembang seiring dengan ekspansi organisasi ini ke luar Yogyakarta.
Selain Suara Muhammadiyah, ada juga beberapa media cetak Islam lain yang bisa bertahan cukup lama di dalam daftar Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche Pers itu. Salah satu yang menarik adalah media yang dikelola Abdullah Ahmad di Padang, Al Iftifaq Wal Iftiraq (bila melihat sumber lain, seharusnya penulisan yang benar ialah: Al Ittifaq wal Iftiraq). Dikenal sebagai ulama yang juga jurnalis, Abdullah Ahmad dikenal sebagai pendiri media cetak Islam pertama di Indonesia, Al Munir (1911). Menurut Hamka dalam bukunya, Ayahku, Abdullah Ahmad dikenal sebagai ulama yang berpengetahuan luas, berpergaulan luwes dan sangat produktif berkarya. Al Ittifaq wal Iftiraq-nya Abdullah Ahmad memang tak berumur lama, tapi legasinya yang lain masih memberi manfaat bagi masyarakat Sumatera Barat hingga kini: lembaga pendidikan Adabiah.
Sepuluh bulan kemudian, laporan Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche Pers diperbarui dan diterbitkan untuk publik. Ada perubahan lagi dalam laporan yang terbit pada 26 Februari 1925 itu. Jumlah media cetak keagamaan di Hindia Belanda naik dari 15 (di laporan tanggal 15 April 1924) menjadi 25. Ada beberapa media cetak keagamaan baru yang muncul dan baru pertama kali masuk daftar. Dari media cetak Kristen ada satu tambahan media baru, yakni Kristen-Djawi (berbahasa Jawa, dipimpin oleh J. Mattheus Jr. dan terbit dua kali sebulan di Kediri). Media Islam menyumbang beberapa media baru (baik yang dulu pernah terbit, hilang, lalu muncul kembali maupun yang sepenuhnya baru), di antaranya Taman-Islam dan Roesia Alam (berbahasa Jawa, dipimpin oleh Moh. Ashar dan Sastroatmodjo, terbit di Yogyakarta sekali sebulan).
Yang menarik adalah media cetak yang berafiliasi pada Muhammadiyah. Majalah Suara Muhammadiyah masih tetap ada di dalam daftar itu. Demikian juga Pertimbangan yang dikelola Abi Jasir. Namun, ada satu media baru yang berafiliasi ke Muhammadiyah yang untuk pertama kalinya masuk ke dalam daftar Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche Pers, yakni Poestaka Hizboel Wathon. Bisa ditebak, ini adalah media cetak terbitan Hizbul Wathan, organisasi pandu Muhammadiyah yang didirikan tahun 1920. Di daftar itu diterangkan bahwa media cetak ini berbahasa Jawa, dipimpin oleh Sjarbini, terbit di Yogyakarta sekali sebulan, dan berorientasi Islam.
Keterangan ini memperlihatkan bahwa Hizbul Wathan bukan hanya organisasi pelatihan fisik dan mental seperti selama ini diyakini, namun juga organisasi yang memberi tempat pada tumbuhnya kesadaran literasi di tengah anggotanya yang umumnya berusia lebih muda daripada umur anggota organisasi induknya, Muhammadiyah. Masuknya Poestaka Hizboel Wathon ke dalam daftar ini juga menunjukkan bahwa sejarah literasi di Muhammadiyah tidak hanya bisa dilacak pada kelahiran kesadaran literasi di kalangan anggotanya yang dewasa dan senior, tapi juga di kalangan yang berasal dari kelompok umur yang lebih muda, yakni kaum pemudanya yang tergabung dalam Hizbul Wathan.
Menurut MT Arifin dalam buku Muhammadiyah: Potret yang Berubah, Hizbul Wathan merupakan wadah yang disediakan Muhammadiyah untuk membangun pendidikan cinta tanah air serta kedisiplinan diri. Pendidikan dan pelatihan di Hizbul Wathan memungkinkan alumni-alumninya untuk memasuki organisasi paramiliter yang dibentuk Jepang guna membangun kekuatan pertahanan kaum pribumi pada masa Perang Dunia Kedua, dan kemudian menjadi kelompok yang berperan penting dalam perang kemerdekaan Indonesia: PETA. Sudirman, salah satu jenderal terkemuka dalam sejarah Indonesia modern, adalah contoh alumni Hizbul Wathan yang paling dikenal.
Hanya saja, sementara informasi tentang sejarah pendirian Hizbul Wathan sudah cukup banyak diketahui dan direproduksi, narasi tentang Poestaka Hizboel Wathon nyaris tidak tersedia di dalam historiografi Muhammadiyah. Pengecekan yang dilakukan atas berbagai kajian mengenai sejarah Hizbul Wathan hanya mengulang informasi yang relatif sama, yakni mengenai latar belakang pendirian Hizbul Wathan, asal inspirasi pendiriannya, siapa saja pendirinya, bagaimana kurikulim pelatihannya, dan kiprah alumni Hizbul Wathan di PETA dan di masa Indonesia merdeka.
Sosok Sjarbini dikenal sebagai salah seorang pendiri pandu Muhammadiyah pada tahun 1918. Ia juga menjadi pelatih di pandu ini (bersama Damiri). Selain itu, ia juga seorang guru sekolah rakyat, dan ini menjelaskan mengapa ia punya kesadaran literasi yang tinggi, terutama dalam membaca bahan-bahan hasil percetakan.
Kontribusinya di Hizbul Wathan, dengan demikian, tidak hanya menjadi pelatih di organisasi ini, tapi juga pembawa obor literasi dengan penerbitan majalah Poestaka Hizboel Wathon yang dipimpinnya. Dalam kadar tertentu itu berarti bahwa Hizbul Wathan adalah sebuah lembaga yang tidak hanya membangun potensi fisik dan mental anak muda saja, tapi juga memproduksi pengetahuan dan membangun kesadaran tentang dunia sekitar.
Namun, masih tersisa pertanyaan tentang Poestaka Hizboel Wathon. Apa tujuan penerbitan majalah ini? Apakah redaksi majalah ini mendapatkan pengetahuan dan pelatihan mengenai pengelolaan pers dari Suara Muhammadiyah yang lebih besar, lebih senior dan lebih berpengalaman di lingkungan Muhammadiyah? Bagaimana redaksi majalah ini melihat Hindia Belanda yang berubah cepat di paroh kedua dekade 1920an? Apakah akar perasaan cinta tanah air di antara anggota Hizbul Wathan juga berasal dari bacaan-bacaan yang mereka baca di majalah ini?
Sumber primer berbahasa Belanda memberi keterangan awal penting tentang sebuah media cetak khusus yang diperuntukkan bagi anggota Hizbul Wathan, yang menyapa pembacanya setidaknya sejak tahun 1925, tapi kajian-kajian sejarah Muhammadiyah sejauh ini belum ada yang menyinggung tentang Poestaka Hizboel Wathon ini. Koleksi cetak Poestaka Hizboel Wathon itu sendiri sekarang sudah tidak ditemukan lagi.
Muhammad Yuanda Zara, Staf Pengajar Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta
Sumber: Majalah SM Edisi 5 Tahun 2021