Oleh : Reiny Dwinanda, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Pelajar di Bandung, Jawa Barat yang menjadi korban penodongan masih trauma. Anak SMP itu jadi tidak berani berangkat sekolah sendirian sejak insiden Rabu (23/3/2022) siang tersebut.
Menurut rekaman CCTV, anak malang itu tak mendapatkan pertolongan dari orang di sekitar lokasi kejadian. Kalau Anda ada di situ, sudikah menolongnya?
Di satu sisi, saya bisa memahami ulasan-ulasan kriminolog, sosiolog, maupun psikolog tentang cuek-nya masyarakat terhadap teriakan minta tolong pelajar tersebut. Masyarakat kota besar, seperti Bandung, dinilai tidak memiliki ikatan komunal yang kuat.
Di samping itu, semakin banyak orang di tempat kejadian perkara maka kesediaan untuk menolong konon akan semakin berkurang. Orang menjadi tunggu-tungguan untuk merespons.
Belum lagi kalau pelaku kejahatannya berjumlah banyak atau membawa senjata tajam. Orang makin pikir-pikir untuk membantu.
Orang juga bisa telat merespons ketika tidak melihat langsung kejadiannya. Kalaupun melihat, belum tentu mereka akan tergerak, seperti warga di sekitar lokasi penodongan pelajar itu.
Beberapa tahun lalu, saya pernah memergoki copet di Transjakarta jurusan Senen-Ancol. Awalnya, saya pikir pria berkemeja itu hendak melakukan pelecehan seksual terhadap penumpang yang berdiri di depan tempat saya duduk. Soalnya, dia berulang kali tampak mengatur posisi tangannya dengan ditutupi jaket hitam. Tangannya mengarah ke bokong si mbak.
Si mbak sama sekali tidak menyadari perbuatan pria itu. Saya pun baru tahu kalau itu sebetulnya aksi pencopetan setelah melihat lipatan uang Rp 50 ribuan mulai nongol dari saku belakang celana si mbak. Dalam sekejap, uang itu lenyap dan pria yang mengambilnya segera menjauh.
Begitu melihat pria itu bersiap turun bus, saya langsung bertanya kepada si mbak, apakah ia menyimpan uang di saku belakang. Si mbak mengiyakan sambil mengecek kantong celananya. Dia panik begitu menyadari uangnya hilang.
Tanpa pikir panjang, saya langsung menunjuk pria itu tadi sebagai copetnya. Si mbak sontak berteriak hingga petugas menghalangi pria itu keluar dari bus Transjakarta yang kebetulan berhenti di halte.
Pria itu marah dituduh copet. Dia teriak-teriak menanyakan mana saksinya.
Si mbak otomatis menunjuk saya. Saya bilang, penumpang pria di sebelah saya juga melihatnya. Soalnya, tadi dia sempat menimpali percakapan singkat saya dengan korban. Dia bilang, pelaku memakai kemeja abu-abu.
Sialnya, begitu si copet bertanya "mana saksinya", mas di sebelah langsung kicep, mengaku tak tahu apa-apa. Bisa jadi, ia mewakili gambaran masyarakat yang menganggap "itu bukan urusan saya", "saya tak mau terlibat lebih jauh", atau "bakal panjang nih urusannya". Tinggallah saya sebagai saksi tunggal.
Untungnya, si mbak mentalnya kuat untuk memperjuangkan uangnya kembali. Dia meminta petugas untuk menggeledah si copet.
Seperti penodong pelajar di Bandung, si copet rupanya tidak sendirian. Uang hasil rampasannya sudah dioper ke rekan penjahat lainnya.
Begitu terdengar si mbak mau mempolisikan si copet, tiba-tiba seorang pria lain berteriak, "uang siapa nih? " Rupanya, uang hasil copetannya ia lempar ke lantai Transjakarta.
Si copet pun dibebaskan petugas. Dari halte, matanya terus menatap tajam ke arah saya.
Si mbak berterima kasih. Dia mengatakan, itu uang titipan majikannya, pemilik toko di Mangga Dua Square, Jakarta Utara.
Lutut saya langsung lemas, tangan saya gemetar begitu menyadari apa bahaya yang mungkin terjadi terhadap saya. Pikiran saya pun melayang-layang, memikirkan kemungkinan suatu saat akan ketemu copet itu dan komplotanya.
Memang, tidak semua orang mau menolong ketika hal buruk terjadi di jalanan. Setiap orang tentu punya spontanitas ataupun pertimbangan yang berbeda.
Di sisi lain, kita pernah melihat bentuk spontanitas yang berujung main hakim sendiri oleh massa yang tersulut emosinya. Kasus kematian tragis kakek di Jakarta yang dituduh maling bisa menjadi pelajaran.
Sambil mengasah intuisi kita di jalan, sudah seharusnya kita mendapat perlindungan ekstra di tempat-tempat rawan dan jam rawan. Apalagi, keberadaan CCTV yang makin banyak terpasang tidak serta merta membuat orang jahat mengurungkan niatnya.
Rekaman CCTV hanya membantu kita memperlihatkan kejadiannya. Kita butuh polisi untuk lebih sering berpatroli demi menjaga keamanan lingkungan, tak terkecuali di siang bolong.
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement