Oleh : Nashih Nasrullah, Jurnalis Repblika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Tingkatan puasa paling tinggi menurut imam Al Ghazali (w 1111 M) adalah puasa khushus al-khusus. Puasa level ini menuntut seorang salik tak hanya sekadar menahan lapar dan dahaga. Ia adalah sebenarnya puasa. Puasa yang mengantarkan Nabi Musa alaihissalam menerima 10 perintah dan larangan dari Allah SWT, jenis puasa yang menjadikan Muhammad SAW, sebagai nabi dan rasul pamungkas, atau puasa yang menempatkan sayyidah Maryam sebagai salah satu sosok perempuan mulia sepanjang sejarah.
Puasa itu adalah puasa batin. Laku spiritual yang mampu mengontrol seluruh anggota tubuh menjauh dari segala bentuk maksiat. Dalam gambaran Rumi sebagaimana tergambarkan dalam mahakaryanya Masnawi, puasa batin ini menjadikan nutrisi cahaya Allah SWT berupa ketataan, hidayah, dan kedekatan dengan-Nya sebagai suplemen utama. Rumi telah membuktikan itu. Buah karyanya itu lahir dari olah spiritual yang cukup panjang berupa puasa 40 hari yang dipenuhi dengan tirakat dan penghambaan kepada Sang Khaliq.
Puasa batin inilah yang oleh William C Chittick dalam The Vision of Islam, digambarkan sebagai rukun Islam yang paling berkarakter dan sangat spiritual karena merupakan ujian kejujuran seorang hamba terhadap agama mereka. Tak sedikit orang mengaku berpuasa, tetapi aktivitas selama masa berpuasa, tak sejalan dengan subtansi ibadah ini. Jika usia kita saat ini 40 tahun misalnya, setidaknya sejak masa akil baligh (bila kita pukul rata-rata usia 15 tahun), sudah menjalani puasa Ramadhan sebanyak 25 kali. Angka yang sejatinya tak lagi sedikit seiring dengan meningkatnya kemampuan daya jejalajah spiritual kita.
Hari-hari puasa Ramadhan, mengantarkan kita pada pertemuan kembali dengan Idul Iftri. Dalam pengertian bahasa, ia berarti kembali suci. Ia sekadar tempat rehat, momentum mengembalikan kesucian diri. Menyegarkan kembali semangat dan ghirah untuk berbuat lebih baik lagi. Dan, menanggalkan segala bentuk tindakan keji, zalim, dan perbuatan nista. Kembali ke fitrah, baik dalam konteks pribadi, sosial, maupun hidup berbangsa dan bernegara.
Idul Fitri bagi individu adalah evaluasi dan introspeksi menuju pribadi yang bertakwa. Minimal, implikasinya bisa diukur dengan adanya perubahan nyata dalam kesehariannya. Ia mestinya menjadi figur yang tidak mencederai orang lain, baik secara lisan, perbuatan, ataupun sikap sikapnya dalam berinteraksi. Sebab, disesuaikan dengan posisi dan tanggung jawab yang diemban.
Pemimpin yang lulus Ramadhan, misalnya, tak akan gampang mengumbar janji, mengeluarkan pernyataan, dan tak mempermainkan amanah rakyat. Pemimpin yang sukses menangkap pesan Idul Fitri akan berani bertindak tegas dan bersikap antikezaliman dan penyelewengan, apa pun bentuk dan motifnya. Karena ia kembali ke fitrah sebagai pengemban amanah.
Sebagai makhluk sosial, Idul Fitri mengingatkan kita terhadap keberadaan entitas lain. Mengetuk kepedulian sosial, mengunggah empati, dan mengajak kita untuk segera berbuat sesuatu. Di luar sana, masih banyak saudara kita yang hidup di bawah garis kemiskinan. Sedikit perhatian kita akan meringankan beban derita yang mereka rasakan.
Dalam konteks berbangsa dan bernegara, Idul Fitri adalah saat yang tepat untuk meneguhkan kembali komitmen nasionalisme dan menguatkan konsistensi terhadap penegakan hukum. Karena, idealnya, spiritualitas yang terbarukan akan mendorong rasa malu. Malu tidak mandiri dan berdikari, malu mengekor ke pihak asing, malu main mata antarpenegak hukum, dan malu mengambil hak oran lain.
Seorang sufi terkemuka abad kedua Hijriah, Abu Bakar as-Syibli, semasa hidupnya pernah menulis sebuah syair, ketika ia berada di pengujung Ramadhan. Tepatnya, kala fajar 1 Syawal tiba. “Jika Engkau bagiku ialah Id maka tak sebanding Id saat ini. Rasa cinta kepadaMu di hatiku, terus mengalir. Laksana air di kecapi.”
Jika menurut as-Syibli, kecintaan terhadapNya adalah hakikat Idul Fitri telah menguasai dirinya. Maka, siapa pun yang mengaku cinta pada seseorang, ia akan menuruti apa pun yang dititahkan dan menjauhi segala yang dilarang. Bukan Idul Fitri namanya bila lepas Ramadhan, nafsu dan syahwat kekuasaan, angkara murka, atau kenistaan lainnya, justru kembali bahkan lebih menggila.
Hal ini karena, menurut Hasan al-Bashri, tiap hari adalah Idul Fitri, dengan catatan selama kemaksiatan tidak dilakukan seperti maksiat diri, maksiat sosial, dan maksiat dalam berbangsa dan bernegara. Ini sebenarnya urgensi dari memuasakan batin kita, laku puasa yang ta tersekat batasan waktu.