Oleh Mahyeldi SP - Gubernur Sumatra Barat
REPUBLIKA.CO.ID, Setiap tahunnya, bertepatan tanggal 1 Juni kita selalu memperingati Hari Lahir Pancasila. Momentum ini mengingatkan kembali lahirnya pancasila atas semangat kebersamaan, persatuan, dan kesatuan. Pancasila disepakati sebagai ideologi bangsa dan dasar negara perekat dalam perbedaan. Walaupun berbeda suku, daerah, bahasa, agama tapi pancasila menjadi acuan untuk tetap satu.
Perjalan panjang bangsa tidak terlepas dari peran tokoh-tokoh bangsa menyumbangkan pemikiran dalam menyusun dan mengonsep serta melahirkan Pancasila. Seperti Soekarno, M. Yamin, Supomo, dan lainnya. Dimulai dengan dibentuknya Badan Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Kemudian BPUPKI membentuk Panitia Sembilan yang ditugaskan merumuskan dasar negara.
Maka dari sini awal mulanya lahir Piagam Jakarta pada 22 Juni 1445 dengan lima poin kesepakatan: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam Piagam Jakarta pada poin pertama dituliskan, Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Dari kalimat khususnya menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya membuat wakil-wakil dari agama lain keberatan menjadi kata-kata tersebut menjadi dasar negara.
Setelah mengalami diskusi yang sangat panjang, dengan kompromi politik Piagam Jakarta berubah. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya diganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tokoh-tokoh Islam berpikiran luas dan lebih mementingkan keutuhan bangsa dan negara Indonesia dalam membuat landasaan negara.
Dari perjalanan tokoh-tokoh bangsa merumuskan, membuat, dan mengesahkan dasar negara ini kita bisa mengambil hikmah dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Soekarno dengan pemikiran dan konsepan dasar negara yang dibuatnya tidak memaksakan keinginan pribadi, M. Yamin dan Supomo juga seperti itu. Bahkan tokoh-tokoh Islam yang sangat mayoritas lebih mengutamakan keutuhan dan kebersamaan jangka panjang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak mengedepankan egositas kekuatan mayoritas, tapi mampu mendengar dan melihat potensi besar perkembangan dan kemajuan negara.
Pada dasarnya Indonesia terlahir dari keberagaman dari Sabang sampai Merauke. Setiap provinsi memiliki kekhasan tersendiri. Bahasa orang Minang tentu akan sangat berbeda dengan bahasa orang Kalimantan, Jawa, Sulawesi, dan daerah lainnya. Perawakan tubuh, pakaian, adat istiadatnya jika diturunkan sampai ke tingkat desa atau nagari sangat beragam sekali. Keberagaman ini menjadi sebuah keberkahan yang harus diterima dengan lapang dada dan tangan terbuka.
Sebagai upaya merawat persatuan dan kesatuan tentu kita harus kompak. Fokus mencari kesamaan daripada perbedaan. Ketika hal ini kita perkuat, keutuhan bangsa ini akan tetap terjaga baik. Jangan sampai kita disibukkan dengan hal-hal kecil yang menyebabkan energi terkuras habis. Seperti pesoalan pilihan warna politik, perbedaan suku budaya, dan agama.
Kita harus menyadari persaingan secara global antar bangsa di belahan dunia semakin ketat. Setiap negara saling berpacu membuat terobosan dalam teknologi, ekonomi, perdagangan, serta penemuan-penemuan sains. Apalagi dalam pengembangan teknologi 4.0 orang semakin berpacu dalam hal tersebut. Akan menjadi bangsa yang tertinggal jika kita masih membenturkan yang namanya keberagaman.
Jangan sampai hari ini kita masih melihat sebuah perbedaan sebagai perpecahan sehingga energi besar bangsa ini terus tergerus terus menerus menyelesaikannya. Ada baiknya energi besar ini digunakan dalam kebermanfaatan untuk kemajuan bangsa.
Kematangan dalam bernegara yang diperlihatkan para pendiri bangsa perlu menjadi pembelajaran dan keteladan. Tugas mereka sudah selesai menghantarkan negara ini mempunyai dasar negara yang bisa diterima di setiap zamannya. Tinggal tugas kita sebagai generasi penerus melanjutkan perjuangan-perjuangan menghidupkan Pancasila dalam kehidupan.
Bicara Pancasila dan Sumatra Barat pada momentum Peringatan Hari Lahir Pancasila tanggal 1 Juni 2022 ini sangat menarik sekali. Salah satu hasil riset di awal tahun kemarin mengatakan beberapa daerah di Sumatra Barat seperti Kota Padang Panjang, Kota Padang dan Kota Pariaman masuk dalam 10 besar kota inteloran di Indonesia. Sebagai masyarakat yang besar dan tumbuh serta hidup di Sumatra Barat, hasil riset ini tentu dipertanyakan kredibilitasnya. Apa yang dijadikan standar sehingga tiga kota di Sumatra Barat diberi label intoleran?
Sejauh ini Sumatra Barat menjadi provinsi yang aman, nyaman, dan tidak ada konflik horizontal terhadap pebedaan suku, budaya, dan agama. Semua masyarakat hidup rukun damai dan penuh keakraban satu dan lainnya. Bahkan tiga kota yang dilabeli daerah yang intoleran sampai saat ini masyarakat yang tinggal di sana sangat terbuka terhadap keberagaman.
Sebut saja Kota Padang Panjang, daerah ini populer dengan sebutan kota pendidikan. Terdapat banyak etnis yang tinggal di sana. Sejauh ini tidak ada konflik agama, budaya, bahkan isu SARA yang muncul di masyarakat. Apalagi kita bicara Kota Padang, ibu kota Provinsi Sumatra Barat, beragam etnis dan agama hidup di kota ini. Satu sama lain menghormati perbedaan dan setiap keyakinan begitu nyaman aman dalam menunaikan ibadahnya.
Belum lagi sangat terngiang dalam ingatan kita, munculnya pemberitaan Sumatra Barat merupakan markas dari NII. Sebanyak 1.125 orang terindikasi sebagai anggota NII yang berdomisili di Sumatra Barat dan adanya indikasi-indikasi melakukan penggulingan terhadap pemerintahan yang sah.
Pada dasarnya Sumatra Barat merupakan provinsi sebagai penyambung nafas Negara Kesatuan Republik Indonesia. DNA masyarakat Sumatra Barat adalah DNA pejuang. Saat Belanda sudah mengatakan Indonesia sudah tidak ada, suara perjuangan dari Sumatra Barat tetap bergaung dengan dibentuknya Pemerintahan Darurat Repbulik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi.
Bahkan jika dikalkulasikan lagi, setiap ada peristiawa bersejarah ataupun momen penting dalam perjuangan negara ini, tokoh-tokoh dari Sumatra Barat selalu muncul dan mengambil peran penting. Di antaranya dalam perumusan dasar negara ada M. Yamin dan Muhammad Hatta. Bahkan ada Mosi Integral Natsir yang disuarakan oleh Muhamamd Natsir terhadap kembalinya Indonesia dari serikat kepada NKRI. Masih banyak lagi peristiwa-pristiwa besar dalam perjalanan bangsa ini yang aktor utamanya berasal dari Sumatra Barat.
Masyarakat Sumatra Barat tidak akan mendustai bahwa para pendahulu dan pejuang telah berkorban segenap jiwa raganya dalam merebut kemerdekaan negara ini. Masyarakat Sumbar sejauh ini tetap berada pada posisi memperkuat, mempertahankan, dan memperjuangkan NKRI. Tidak akan mungkin masyarakat Sumatra Barat akan berpaling bahkan mencederai hasil perjuangan para pendahulu bangsa yang berkoban sepenuh jiwa demi keutuhan negara Indonesia.
Dalam momentum Hari Kelahiran Pancasila, menjadi pengingat dan penyemangat agar cinta-cita para pendiri bangsa merumuskan dasar negara Pancasila agar tetap dijaga, dipelihara, dan diperkuat dalam setiap jiwa, sehingga tetap tumbuh dan hidup dalam masyarakat. Kita harus selalu merapatkan saf, kuatkan persatuan, tingkatksn kewaspadaan, dan jangan sampai kita diadu domba satu sama lain.
Insya Allah, kebersamaan dan persaudaraan yang kita bangun dalam mencintai negara ini akan menghadirkan kebaikan-kebaikan dalam membangun bangsa. Semoga kecintaan kita terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak akan tergoyahkan sampai hayat menjemput.