Jumat 03 Jun 2022 08:37 WIB

'Program Link and Match Langgengkan Pola Pendidikan Kolonial'

Proses transformasi pendidikan sebaiknya dilakukan dengan pendekatan komunitas.

Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM)
Foto: GSM
Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM)

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) Muhammad Nur Rizal mengkritik paradigma pendidikan di Indonesia yang kian jauh dengan spirit para founding fathers. Menurut dia, pendidikan di Indonesia saat ini tampak melanggengkan pola-pola pendidikan era kolonial.

"(Pendidikan saat ini) menyiapkan manusia link and match, atau menjadi sumber daya manusia yang terampil untuk siap masuk ke dunia kerja. Sehingga kognitif ini menjadi prioritas utama ke depan," kata Rizal saat konferensi pers Ngkaji Pendidikan: Kastanisasi Pendidikan, Bertahan atau Melawan?, Selasa (31/5/2022) lalu.

Rizal mengungkapkan, pendidikan era kolonial sarat dengan kastanisasi pendidikan. Sekolah-sekolah publik yang ada saat itu hanya bisa diakses oleh kaum bangsawan dan Eropa. Sedangkan kaum pribumi dan rendahan tidak bisa mengakses sekolah-sekolah tersebut. Hal inilah yang diprotes para founding fathers, salah satunya Ki Hajar Dewantara, dengan cara membuat sekolah yang ditujukan untuk orang-orang pribumi.

Dalam sekolah-sekolah tersebut, kata Rizal, pendidikan yang diajarkan Ki Hajar Dewantara tidak hanya berfokus pada kemampuan kognitif, namun juga membangun olah rasa dan olah karsa, termasuk olah raga. "Kita ingin mengingatkan kembali bahwa para founding fathers dalam membangun sekolah itu ada proses personalisasi dan proses kebudayaan," tutur Rizal.

Dosen Universitas Gadjah Mada itu menyatakan dukungannya terhadap upaya melakukan transformasi pendidikan oleh pemerintah lewat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang salah satunya melahirkan Kurikulum Merdeka. Namun ia menyayangkan niat baik tersebut dilakukan dengan pendekatan programatik, salah satunya program Guru Penggerak. 

Ia melanjutkan, karena bersifat programatik sehingga kelangsungan program tersebut tergantung pada jumlah alokasi anggaran. Ketika alokasi anggaran terbatas maka program itu pasti akan dilakukan dengan proses seleksi. "Kalau ada proses seleksi maka yang terpilih nanti pasti elu lagi elu lagi (kalangan tertentu saja-Red)," kata Rizal.

Jika sudah seperti itu, maka guru-guru dan sekolah-sekolah pinggiran, marjinal, dan yang memiliki sumber daya terbatas tentu akan memiliki kesempatan kecil untuk terlibat dalam program tersebut. "Akibatnya favoritisme dan kastanisasi akan terjadi. Padahal kastanisasi adalah spirit yang tidak diinginkan oleh founding fathers kita," ujar Rizal.

GSM, kata Rizal, menawarkan agar proses transformasi pendidikan di Indonesia tidak dilakukan dengan pendekatan programatik dan seleksi melainkan dengan pendekatan komunitas (community approach). "Sehingga kita membuat kegiatan di mana guru-guru merasa punya kesempatan yang sama sebagai pembelajar," kata Rizal.

Dengan pendekatan komunitas ini, tutur Rizal, diharapkan kualitas pengembangan profesional guru-guru menjadi lebih efisien, lebih cepat, lebih komunal. Dalam jangka panjang, diharapkan pendekatan ini akan membangun kemandirian sekaligus keberanian dan kepercayaan diri mereka secara terus-menerus tanpa sekat-sekat administrasi dan struktur.

Salah satu guru yang menjadi pemimpin Komunitas GSM Cirebon, Noor Aeni, menyadari bahwa paradigma pendidikan yang dibangun selama ini luput dalam mengembangkan tiga kodrat manusia yaitu kreativitas, keingintahuan dan keberagaman. "Selama ini banyak guru, termasuk saya sendiri, fokus untuk memberikan konten kepada siswa. Namun lupa bahwa ada hal yang lebih utama yaitu well-being siswa, bagaimana para siswa itu senang mengikuti pembelajaran di sekolah," kata Noor Aeni.

Hal yang sama diungkapkan oleh inisiator dan Leader Komunitas GSM Matematika, Penni Ratnawati. Ia berharap guru-guru di Indonesia paham bahwa tujuan pendidikan nasional itu bukan hanya mencerdaskan bangsa. "Tapi (tugas guru) juga mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, di mana yang paling utama adalah membangun karakter manusia Indonesia untuk masa depan," kata Penni.

Bahkan, kata Penni, tugas membangun manusia berilmu menurut Ki Hajar Dewantara itu hanya berada di urutan keempat. Yang utama adalah membangun manusia beriman, berakhlak mulia, dan sehat. Selain itu juga ada tanggung jawab untuk membangun manusia yang cakap, kreatif, dan bertanggung jawab. "Sehingga semuanya menjadi satu kesatuan, tidak berdiri sendiri-sendiri. Ini yang sering dilupakan oleh para pendidik," kata Penni.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement