REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR Benny K Harman mengamini jika sejumlah pasal dalam rancangan Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (RKUHP) mengancam kebebasan berpendapat dan pers. Salah satunya adalah Pasal 218-220 tentang Tindak Pidana Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden.
Karenanya, ia mendorong dilakukannya harmonisasi antara RKUHP dengan Undang-Undang Nomor 40 tentang Pers. Tujuannya agar kebebasan pers tetap terjaga jika RKUHP disahkan menjadi undang-undang.
"Harus ada harmonisasi, bisa usul saya yang ada di undang-undang pers dimasukkan di sini, supaya tidak menimbulkan kecurigaan." ujar Benny di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (19/7/2022).
Dengan adanya harmonisasi antara RKUHP dan UU Pers, setidaknya dapat menghilangkan kecurigaan bahwa kitab hukum pidana terbaru Indonesia itu tak memberangus kebebasan pers. Mengingat definisi kritik juga sudah dijelaskan dalam RKUHP yang telah diserahkan kepada DPR.
Kendati demikian, pers tetap berpegang teguh kepada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Bagi media, UU Pers statusnya lebih tinggi dibanding RKUHP, karena termasuk undang-undang untuk mengatur pers. Sedangkan RKUHP bersifat umum, karena itu yang mengatur ketentuan umum.
"Posisinya tidak berubah, ketentuan khusus yang ada di UU Pers tidak bisa dianulir UU KUHP, karena sifatnya umum. Jadi teman-teman pers tidak usah takut," ujar Benny.
Ketua Komisi Pendataan, Kajian, dan Ratifikasi Pers Dewan Pers Ninik Rahayu mengatakan bahwa pihaknya mengevaluasi pasal bermasalah dalam RKUHP dari draf yang beredar di internet. Pasalnya, pihaknya sampai saat ini belum menerima draf resmi RKUHP dari pemerintah.
"Dewan Pers sebetulnya sampai saat ini belum mendapatkan draf resmi yang dikirimkan pemerintah kepada DPR yang diserahkan pada 4 Juli yang lalu," ujar Ninik.
Adapun Dewan Pers, rencananya akan bertemu bertemu dengan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) untuk membahas RKUHP pada Rabu (20/7). Forum tersebut, pihaknya ingin menyampaikan pasal-pasal mana saja yang berpotensi menghilangkan kebebasan pers.
"Untuk memastikan apakah yang sekarang ini menjadi pembahasan di ruang publik, diskursus di ruang publik adalah draf yang diserahkan pemerintah kepada DPR," ujar Ninik.
Nawir Arsyad Akbar