REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Psikolog Mulyana Brata Manggala mengatakan, penanaman disiplin terhadap anak dengan cara kekerasan dan cara-cara yang merendahkan martabatnya harus ditinggalkan.
"Agar tujuan pendidikan itu tercapai, maka pendidikan harus dilakukan dengan cara-cara yang menghormati harkat martabat kemanusiaan anak atau siswa," kata Brata dalam webinar bertajuk Bimbingan Teknis Lembaga Perlindungan Khusus Ramah Anak (LPKRA) pada Unit Penanganan Kasus di Satuan Pendidikan Tingkat SMP/MTs yang diikuti di Jakarta, Rabu (24/8/2022).
Untuk itu, pihaknya menegaskan cara-cara mendisiplinkan anak dengan menjemur anak di lapangan atau meminta anak membersihkan toilet, harus ditinggalkan. Hal ini karena anak harus dilindungi.
"Anak masih dalam proses tumbuh dan berkembang," katanya.
Jika hal-hal traumatis dirasakan anak semasa kecil bisa mempengaruhi sikap dan tingkah lakunya ketika dewasa. Untuk itu penerapan disiplin harus dilakukan secara positif.
Brata menambahkan, sekolah perlu melakukan tindakan pencegahan terhadap terjadinya kekerasan, yang meliputi penerapan pendidikan tanpa kekerasan, menciptakan lingkungan ramah anak, melaporkan bila terjadi kekerasan dan menyusun prosedur operasi standar pencegahan, termasuk kebijakan perlindungan anak, asesmen risiko dan kode etik.
"Menciptakan lingkungan ramah anak perlu melibatkan anak. Seperti membuat aturan kelas bersama. Ketika anak dilibatkan, biasanya anak-anak akan lebih komitmen untuk mengikuti aturan," katanya.
Selain itu, dengan membentuk tim pencegahan yang terdiri atas kepala sekolah, guru, siswa dan orang tua. "Kemudian memasang papan info aduan," katanya.
Sekolah juga perlu menjalin kerja sama dengan beberapa pihak seperti psikolog, psikiater, kepolisian, tokoh agama dan pekerja sosial.