REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Universitas dan kampus harus menggelorakan semangat kemajuan Indonesia yang hanya bisa dilakukan dengan pengembangan ilmu pengetahuan (iptek) dan riset.
Hal itu disampaikan Doktor Ilmu Pertahanan Hasto Kristiyanto dalam kuliah umum dengan tema Geopolitik Soekarno di Universitas Halu Oleo, di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra), Selasa (6/9/2022) petang.
Hasto mengatakan dirinya hadir di kampus itu bukan dalam rangka politik praktis, namun yang ada adalah politik kebangsaan.
“Tidak ada politik praktis, yang ada adalah politik kebangsaan, bagaimana kita berkomitmen bersama membangun Indonesia yang kuat,” ujar Hasto.
Dalam konteks itu, lanjut Hasto, mahasiswa Indonesia perlu belajar dari semangat pendiri bangsa kita. Seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, M.Yamin yang pernah memimpin ratusan doktor yang membikin pola Pembangunan Semesta Berencana.
Menurut Hasto, para pendiri itu memiliki imajinasi kemajuan Indonesia yang merdeka, ketika situasi sangat sulit. Bahkan untuk melakukan rapat saja, berada di tengah pengawasan tentara Jepang dan Sekutu pada saat itu.
“Ketika jaman masih susah, ketika rapat diawasi Jepang dan Sekutu, saat itu pendiri bangsa mampu membuat gagasan bahwa Indonesia lahir untuk jadi pemimpin di antara bangsa-bangsa di dunia,” kata Hasto.
“Mereka berjuang di situasi relatif sulit. Kita sekarang belajar di masa yang jauh lebih baik. Infrastruktur. Pendidikan juga. Maka seharusnya kita harus lebih bisa menggelorakan semangat kemajuan yang sama,” tegas Hasto.
Hasto melanjutkan, dirinya ke kampus karena kita harus bicara Indonesia pada 50-100 tahun ke depan.
“Bagaimana kita menjadi bangsa hebat dan itu dimulai di kampus. Tak ada pemimpin yang tak dimulai dari kampus. Kampus jadi infrastruktur kemajuan paling penting,” kata Hasto.
Pernyataan Hasto itu didasarkan juga pada temuan riset disertasinya mengenai teori geopolitik Soekarno. Temuannya, dua faktor terutama agar sebuah bangsa jadi pemimpin di dunia adalah kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek). Yang kedua adalah politik dimana didalamnya unsur terpenting ialah diplomasi.
“Dalam teori geopolitik Soekarno, terbukti faktor utama adalah iptek. Kita kejar Singapura dan negara tetangga lainnya, tak bisa dengan demo, harus dengan iptek. Jalan kemajuan kita ada di kampus,” urainya.
“Kedua adalah politik yang didalamya adalah diplomasi. Jadi mahasiswa sekarang harus kuasai diplomasi, misal bisa berbahasa asing minimal 2. Maka tiada hari tanpa baca buku, belajar, inovasi dan lakukan riset demi kemajuan bangsa,” tegas Hasto.
Sekalian Hasto menyampaikan salam hangat dari Presiden Kelima Ri yang juga Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri. Hasto menceritakan bagaimana cintanya Megawati dengan lingkungan hidup, flora dan fauna.
Menurut Hasto, terinspirasi dari kecintaan Megawati itu, dalam konteks geopolitik Soekarno, maka mahasiswa Halu Oleo harus mulai berimajinasi bagaimana mengembangkan potensi yang ada di sekitarnya.
Sultra adalah wilayah yang secara geografis dekat laut dan memiliki jutaan hektare hutan.
“Indonesia kaya dengan flora dan fauna. Kalau seluruh universitas, khususnya Halu Oleo ini mengembangkan apa yang kita miliki, kembangkan laut dan isinya, dengan iptek, maka kita bisa menjadi negara yang betul-betul berdikari. Itu juga kata Bu Mega,” ujar Hasto.
Hasto hadir didampingi Ketua DPP PDIP Wiryanti Sukamdani. Hadir di acara itu Wakil Gubernur Sultra Lukman Abunawas, Bupati Muna La Ode Rusman Emba, dan Anggota DPR Fraksi PDIP dapil Sultra Hugua dan Andi Ridwan Wittiri dari dapil Sulsel.
Ratusan mahasiswa Halu Oleo hadir dipimpin oleh Rektor Universitas Halu Oleo Muhammad Zamrun. Selain itu hadir juga sekitar 1000 mahasiswa secara daring. “Kebahagiaan bagi kami bisa menerima dan akan mendengarkan kuliah umum Mas Hasto di Halu Oleo,” kata Zamrun.