REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Senat Mahasiswa Fisip Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) - UPDM(B) melangsungkan diskusi publik dengan tajuk, “Mengapa Rasisme Masih Ada di Amerika Serikat?”. Berlokasi di Aula Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Diskusi publik berbentuk talkshow tersebut mengupas mengenai sebab, akibat, motif hingga kampanye pemerintahan presiden Donald Trump dan kebijakan presiden Joe Biden dalam mengatasi kasus Anti-Asia.
Laporan terbaru dari China Society for Human Rights Studies (CSHRS) 2022 menyebut bahwa kasus Anti-Asia bermula dari penyebutan corona (Covid-19) sebagai virus China oleh beberapa politisi Amerika Serikat, termasuk presiden Donald Trump. Stigma tersebut diperparah oleh superioritas warga kulit putih Amerika Serikat atas keturunan Asia yang merupakan kaum minoritas teladan (model minority) di Amerika. Ditambah lagi, rivalitas, ketegangan, dan konflik antar kedua negara, Amerika Serikat dan China yang semakin memperparah rasisme Anti-Asia di Amerika Serikat.
“Kami tergerak untuk mendiskusikan fenomena Asia Hate atau Anti-Asia yang notabene terjadi dan ada di negara yang mengklaim dirinya sebagai pelopor, penyebar, bahkan menegakkan nilai-nilai HAM dan demokrasi di negara-negara lain. Kita berharap dari diskusi ini bisa mengambil manfaat, bahwa Indonesia yang majemuk, mampu menyatukan perbedaan, bukan menghembuskan permusuhan," kata kata Dimas Satria Krisnowo, selaku Ketua Umum SENMA FISIP UPDM(B), dalam sambutannya seperti dikutip pada Rabu (5/10/2022).
Prof. Dr. Himsar Silaban, M.M, selaku Dekan Fisip UPDM(B) mengapresiasi diskusi publik ini, “Saya bangga dengan teman-teman Senat yang mampu menghadirkan diskusi publik yang mengangkat dinamika isu rasisme di Amerika Serikat dengan menghadirkan para pembicara dari berbagai kalangan yang tentu akan menambah khazanah, wawasan, dan pengetahuan para civitas akademika yang ada di lingkup Fisip UPDM(B)”. Gotong royong," kata dia.
"Konteks diskusi ini kita ingin membahas anomali Amerika, negara yang menjadi pelopor, penyebar, bahkan menegakkan nilai-nilai HAM dan demokrasi di negara-negara lain. Namun, hingga detik ini belum bisa menuntaskan problem rasisme yang melekat dalam diri Amerika Serikat. Menguatnya sentimen rasisme Anti-Asia di Amerika Serikat menunjukkan kemunduran sekaligus menjauh dari American Dream yang memimpikan kesetaraan, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, dan anti rasisme," kata Anggota Dewan Redaksi Media Group, Abdul Kohar sebagai moderator.
Kemudian, Kesi Yovana dari Program Studi Hubungan Internasional FISIP UPDM(B) menambahkan, “adanya fenomena dan kasus hate-crime, Anti-Asia di Amerika Serikat tidak lepas dari kampanye Trump yang menyudutkan China.
"Apalagi saat pandemi Covid-19, ujaran kebencian seperti virus China, Kung Flu, dan Wuhan virus semakin membangkitkan kebencian Anti-Asia di Amerika. Belum lagi, meningkatnya eskalasi konflik dan ketegangan hubungan antara Amerika Serikat dan China semakin mempengaruhi masyarakat untuk melepaskan kebencian pada sesama manusia," ujar diam
Sementara itu, dalam diskusi publik yang dihadiri oleh ratusan mahasiswa ini, Addin Jauharudin, Bendahara Umum PP GP Ansor, menuturkan, bahwa rasialisme merupakan isu tertua di dunia.
"Isu Anti-Asia di Amerika Serikat harusnya menjadi bahan refleksi bagi kita. Amerika Serikat dan Indonesia sama-sama menganut demokrasi, namun memiliki karakter dan corak yang berbeda. Demokrasi Indonesia berlandaskan pada prinsip musyawarah-mufakat dalam politik dan gotong royong dalam ekonomi. Sehingga sudah selayaknya dan sepatutnya Amerika Serikat belajar dari Indonesia untuk menghargai perbedaan, menyatukan kemajemukan, dan menjunjung tinggi kemanusiaan dan peradaban dalam Bhineka Tunggal Ika," kata dia.