Rabu 19 Oct 2022 20:28 WIB

Slow Fashion Bisa Diterapkan Demi Cegah Limbah Tekstil

'Slow fashion' lebih utamakan pakaian berkualitas dengan pemakaian lama.

Red: Nora Azizah
'Slow fashion' lebih utamakan pakaian berkualitas dengan pemakaian lama.
Foto: www.freepik.com
'Slow fashion' lebih utamakan pakaian berkualitas dengan pemakaian lama.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Co-founder Our Reworked World Annika Rachmat mengharapkan kampanye gerakan slow fashion dapat memberdayakan pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) sekaligus mengurangi pencemaran lingkungan. Dalam keterangan di Jakarta, Rabu (19/10/2022), Annika menyampaikan slow fashion merupakan antitesis dari fast fashion, yang mana lebih mengutamakan kualitas produk dan usia pemakaian yang lebih lama. 

Meski relatif lebih mahal, namun, secara etika dan kualitas produk, slow fashion jauh lebih unggul dan ramah lingkungan ketimbang fast fashion. Dalam beberapa laporan akhir-akhir ini, sejumlah isu sosial dan lingkungan akibat tren fast fashion mencuat di tingkat global dan kian mengkhawatirkan, termasuk masalah limbah tekstil, polusi udara karena pembakaran pakaian bekas, dan yang terburuk adalah, eksploitasi anak-anak menjadi pekerja berupah rendah.

Baca Juga

"Limbah tekstil adalah pencemar air kedua terburuk di dunia setelah limbah industri. Menurut data kami, dari total 200 miliar potong pakaian yang diproduksi setiap tahun, 85 persen di antaranya berakhir di tempat sampah. Tak terkecuali, Indonesia, yang juga membutuhkan perhatian lebih pada isu ini. Kami mencatat, dari sekitar 33 juta ton pakaian yang diproduksi, hampir satu juta di antaranya menjadi limbah tekstil tiap tahun," ujar Annika.

Hal itulah yang mendorong Annika bersama rekan lainnya yaitu Nicole Chu dan Britney Halim di awal pandemi tahun 2020 mulai mengumpulkan dan mengurasi pakaian-pakaian bekas atau sudah tak terpakai dari berbagai sumber dan donatur. Lalu, mereka menentukan ide serta pola yang cocok untuk tiap potong pakaian.