Jumat 04 Nov 2022 12:14 WIB

Begini Cara Kecerdasan Buatan dan Robot Bantu Distribusi Pangan

Robot dan AI bisa membantu memetakan daerah yang rawan pangan secara realtime.

Rep: Eric Iskandarsjah Z/ Red: Dwi Murdaningsih
Burkina Faso, Yaman, Sudan Selatan, dan Nigeria berpotensi mengalami kelaparan parah. Ilustrasi. Artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan dan robotika kini bisa diterapkan untuk mengatasi krisis pangan.
Foto: EPA
Burkina Faso, Yaman, Sudan Selatan, dan Nigeria berpotensi mengalami kelaparan parah. Ilustrasi. Artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan dan robotika kini bisa diterapkan untuk mengatasi krisis pangan.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan dan robotika telah membuktikan peranya dalam berbagai aspek kehidupan. Bahkan, penerapan teknologi mutakhir itu juga bisa menunjang proses distribusi pangan yang optimal.

Dikutip dari Fortune pada Selasa (25/10/2022), salah satu peran robot dan AI adalah dalam penghimpunan data untuk distribusi pangan bagi kawasan yang tengah dilanda krisis pangan. Head of business development and chief of staff World Food Programme (WFP) Innovation Accelerator, Hila Cohen mengatakan, dulu pengumpulan data dilakukan dengan mengirim surveyor yang lokasi yang dituju.

Baca Juga

"Cara itu kurang efektif karena datanya kurang menyeluruh dan tak bisa diproses dengan cepat. Saat itu, laporanya pun bersifat mingguan atau bulanan. Kini, dengan AI, data yang digunakan bisa lebih luas dan bisa diproses dengan lebih cepat serta bisa membantu kami dalam melakukan langkah-langkah prediktif," kata Hila Cohen.

Penerapan robot dan kecerdasan buatan oleh WFP diterapkan lewat aplikasi HungerMap LIVE yang mampu melacak dan memprediksi krisis pangan secara realtime. Hal itu bisa tercapai karena terdapat banyak data yang digunakan mulai dari cuaca, wabah, populasi, konflik hingga data ekonomi makro.

Dengan beragam data itu, kebutuhan pangan bisa disalurkan sebelum krisis terjadi. Berkat online decision support system bernama Optimus, WFP bisa melakukan intervensi pangan dengan lebih optimal dalam biaya yang lebih efisien. WFP mengeklaim, peran Optimus telah memangkas biaya hingga 50 juta dolar AS sejak sistem itu diterapkan.

Di satu sisi, penerapan teknologi mutakhir juga membuat distribusi makanan jadi lebih akirat dan efisien. Ini jadi persoalan penting karena di AS pada 2019, ada sekitar 80 juta ton makanan layak yang tidak terjual atau tidak dimakan. Jumlah itu terbilang cukup memprihatinkan karena volume itu setara dengan 90 miliar porsi makanan yang harus terbuang sia-sia.

Padahal, jika makanan itu bisa didistribusikan dengan akurat, maka makanan itu bisa disalurkan untuk orang-orang yang membutuhkan di kawasan yang mengalami krisis pangan. Akhirnya, makanan itu hanya jadi sampah yang membusuk dan menghasilkan polusi gas metana.

Polusi gas metana dari sampah makanan di AS pun tak bisa dibilang kecil. Pada 2020, 14,5 persen polusi metana di AS berasal dari sampah makanan tersebut.

Direktur teknis dari Global Food Traceability Center Institute of Food Technologists, Blake Harris mengatakan, beragam persoalan itu bisa ditekan dengan AI. "Dengan data yang ada, AI akan menghasilkan algoritme yang membantu penyaluran makanan dengan volume yang tepat kepada wilayah yang tepat pula," kata Blake Harris.

Hal ini pun akan memberi rekomendasi bagi rantai pasokan pangan mulai dari petani, pengolah, distributor dan industri ritel sehingga pasokan makanan bisa dipenuhi dengan lebih efisien.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement