Sabtu 17 Dec 2022 10:15 WIB

Jokowi, Erick Thohir, dan Paradoks Eropa

Sikap Indonesia yang ingin berdiri di atas kaki sendiri membuat Barat meradang.

Presiden Jokowi dan Menteri BUMN Erick Thohir
Foto: Dok. Istimewa
Presiden Jokowi dan Menteri BUMN Erick Thohir

Oleh : Abdullah Sammy, Wartawan, Penulis Buku Biografi “(Bukan) Kisah Sukses Erick Thohir” (Penerbit Buku Kompas, 2022)

REPUBLIKA.CO.ID,

Bung Karno tak segan melawan bangsa Barat yang penuh dengan sikap paradoks. Bagi Bung Karno, Barat dengan segala macam perangkatnya ingin selalu mendikte bangsa lain. Hal yang dianggap Bung Karno sebagai penjajahan bentuk baru. Hal yang disebutnya neokolonialisme. Penjajahan dengan sistem remote by control.

Menurut Bung Karno sebuah bangsa yang merdeka harus berdaulat atas dirinya sendiri. Berdaulat atas ekonomi, sosial, politik, hingga kebudayaannya. Berdiri di atas kaki sendiri. Bukan di-remote atas perintah bangsa lain.

Hampir lima dasawarsa berlalu, apa yang disampaikan sang presiden pertama diaktualisasikan oleh presiden ketujuh, Joko Widodo (Jokowi). Pria bertubuh ramping itu bernyali besar. Di depan para pemimpin Uni Eropa, Kamis (15/12), Jokowi melontarkan apa yang pernah disampaikan Bung Karno. "Kerja sama atas dasar kesetaraan bukan memaksakan kehendak," ujar Jokowi menyinggung relasi antara Indonesia dengan Eropa.

Apa yang disampaikan Jokowi tegas dan apa adanya. Hubungan Indonesia dengan Eropa memang sedang tidak baik-baik saja. Semua karena prinsip kerja sama yang selama ini berjalan kerap kali tidak menguntungkan Indonesia.

Sebelum era Jokowi, merah putih memang kerap ciut ketika ditekan. Situasi yang  berlangsung sejak tumbangnya Bung Karno dan orde kekuasaanya. Sejarah mencatat, salah satu undang-undang pertama yang dibuat ketika rezim Orde Baru berkuasa adalah aturan terkait investasi asing di tambang emas Papua. Sejak itu, Indonesia seperti anak manis yang selalu manut dengan kepentingan Barat.

Ketika Jokowi terpilih jadi Presiden pada 2014, negara Barat seolah kehilangan zona nyamannya. Sejak itu, Indonesia lebih bertaring dalam mempertahankan kepentingannya sendiri.  

Begitu Uni Eropa berani menekan Indonesia terkait industri kelapa sawit, pemerintah Jokowi tidak tinggal diam. Pemboikotan Eropa pada sawit dibalas Jokowi dengan pemboikotan nikel yang menjadi salah satu komoditas utama energi dunia saat ini. Sejatinya, pemboikotan ekspor bahan mentah nikel bukan sekadar masalah sawit semata.

Indonesia yang memiliki komoditas nikel terbesar ingin agar sumber daya itu dihilirisasi. Agar bahan mentah diolah di dalam negeri untuk menghasilkan keuntungan yang lebih maksimal bagi Indonesia.

Kebijakan hilirisasi itulah yang semakin membuat Eropa meradang. Dengan hilirisasi maka praktik impor bahan mentah dari Indonesia praktis sirna. Walhasil keuntungan maksimal dari pengolahan sumber daya alam dari Indonesia jadi semakin terbatas. Sebaliknya dengan hilirisasi sumber daya alam seperti nikel, Indonesia akan memperbesar ceruk ekonominya untuk menjadi negara industri. Tak lagi negara berkembang yang hanya mengirim sumber daya alamnya untuk diolah bangsa lain.

Anehnya, sikap Indonesia yang ingin berdiri di atas kaki sendiri itu malah membuat banyak negara Barat meradang. Sejumlah isu terkait kerusakan alam dan kelapa sawit pun dimainkan. Tekanan yang nyatanya tak membuat pemerintah surut dalam melangkah.

Apa yang ditunjukkan Jokowi dengan menyetop pengiriman bahan mentah nikel membawa Indonesia dan Eropa berseteru hingga ke pengadilan internasional. Bertepatan dengan KTT Asean dan Uni Eropa, pekan ini Jokowi memberi pesan langsung bahwa Indonesia menolak segala sikap arogansi Eropa. Ingin bekerja sama namun dipaksa sesuai dengan standar ego ala Eropa. Inilah yang ditolak keras pemerintah Jokowi.

Gestur Jokowi yang tegas dalam membela kepentingan dalam negeri juga tercermin dalam karakter sejumlah menterinya. Sebut saja Sri Mulyani, Nadiem Makarim, dan Erick Thohir. Nama-nama itu sudah teruji punya nyali untuk berhadapan dengan bangsa lain. Ini seperti Erick yang punya pengalaman memimpin perusahaan besar yang mana perusahaan itu dipimpin oleh merah putih, sementara pria berkulit putih yang jadi jongosnya.

Orang Indonesia seperti Erick punya pengalaman untuk bersaing dan menang di level internasional. Mental inilah yang membuat Jokowi menunjuk Erick, Sri Mulyani, Nadiem Makarim, dan lain-lain sebagai pembantunya di kabinet. "Agar BUMN bisa berbicara di pentas global," kata Jokowi saat mengumumkan menunjuk Erick Thohir sebagai menteri.

Jokowi, Erick, dan anggota kabinet di bidang ekonomi selaras dalam menjawab tekanan Eropa. Dengan tegas Indonesia bergeming pada sikapnya agar tak ada satu bangsa pun bisa menekan Indonesia. Misi menjadikan bangsa untuk melakukan hilirisasi sumber daya alam tak bisa ditawar lagi.

"Sudah terlalu lama bangsa kita yang mempunyai sumber daya alam ini beratus-ratus tahun hanya dieksploitasi untuk hanya mengirim bahan baku. Padahal turunan bahan baku itu adalah sesuatu pertumbuhan ekonomi dan juga pertumbuhan (pembukaan) lapangan pekerjaan," ungkap Erick Thohir dalam gelaran Investor Daily Summit 2022, Oktober lalu.

Indonesia bukan anti kerja sama. Namun kerja sama semestinya sesuai namanya yakni bersama-sama. Hak dan kewajibannya mesti dalam posisi setara. Bukan hanya menguntungkan salah satu pihak. Itulah kesetaraan. Ketidaksetaraan bukanlah kerja sama melainkan neokolonialisme gaya baru. Hal yang pernah disinggung Bung Karno dalam pidatonya yang bertajuk Vivere Pericoloso pada 17 Agustus 1965.

"Kaum imperialis terlalu banyak cingcong dan bertingkah. Aku serukan go to hell with your aid!," begitu petikan pidato Bung Karno pada 17 Agustus 1965 yang melegenda dengan judul Tahun Vivere Pericoloso (Tavip).

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement