Oleh : Agus Yulianto, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, "Tolak kasasi," demikian bunyi putusan kasasi yang dilansir website Mahkamah Agung, Selasa (3/1/2023).
Alhasil, hukuman mati bagi Herry Wirawan itu telah berkekuatan hukum dan bisa dieksekusi. Putusan MA itu pun jelas membuat berbagai pihak yang pro anti-kekerasan seksual bersuka cita. Mereka menilai, putusan MA ini sangat tepat. Mengingat, kekerasan seksual terhadap anak, terlebih korbannya lebih dari satu dan dilakukan berulang-ulang.
Fakta itulah yang membuat Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga mengatakan, putusan tersebut diharapkan dapat memberi efek jera terhadap pelaku. Ya, putusan itu diharapkan menjadi tonggak penegakan hukum pidana yang maksimal dan adil terhadap setiap pelaku kekerasan seksual di Tanah Air. Pasalnya, kasus ini, telah menjadi perhatian serius KemenPPPA dan pihak-pihak terkait lainnya.
Keputusan menolak kasasi yang diajukan Herry Wirawan demi mendapatkan keringanan hukuman itu, juga menunjukkan ketegasan institusi penegak hukum dalam memberantas tindak pidana kekerasan seksual. Sebab, di sisi lain, pemerintah terus berjuang menekan terjadinya segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk kekerasan seksual.
Ini karena pemerintah menginginkan, kasus kekerasan seksual terus mengalami penurunan. Dan karennaya, pemerintah terus memperkuat fundamental pencegahan kekerasan seksual.
Salah satunya, dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). UU TPKS menyatakan dengan tegas kekerasan seksual merupakan kejahatan terhadap martabat manusia dan pelanggaran atas hak asasi manusia yang harus dihapus.
"Tidak ada toleransi bagi pelaku kekerasan seksual dalam bentuk apapun itu," begitu kata Bintang.
***
Sungguh bejat apa yang telah dilakukan Herry Wirawan. Sebagai pengasuh sekaligus guru di sebuah pondok pesantren di Bandung, dia tega memperkosa dan menghancurkan masa depan belasan santriwati yang mondok di pesantrennya.
Perkosaan biadab itu dilakukan Herry Wirawan kepada santrinya dalam kurun 2016-2021. Korbannya adalah santriwati yang mengikuti pembelajaran di pondoknya. Aksi bejat Herry Wirawan ini kemudian mencuat dan dilaporkan ke polisi pada 2021.
Sampai akhirnya, sang guru bejat ini harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di muka hukum. Ini karena, setidaknya, ada 13 santriwati yang menjadi korban kebiadabannya. Ironisnya lagi, ada beberapa yang kemudian hamil dan melahirkan anak-anak dari aksi perkosaan Herry Wirawan ini.
Kronologi terungkapnya perkosaan 13 santriwati ini terungkap setelah Kepolisian Daerah Jawa Barat (Polda Jabar) menerima laporan dari orang tua salah satu korban. Ketika itu, salah satu korban pulang ke rumah pada saat Hari Raya Idul Fitri.
Kala itu, orang tua korban menyadari ada yang berbeda pada anaknya. Akhirnya diketahui bahwa sang anak tengah berbadan dua. Itulah awal terkuaknya aksi durjana Herry.
Orang tua korban kemudian melaporkan kejadian tersebut ke Polda Jawa Barat serta Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Garut. Berdasarkan penelusuran kepolisian, terungkap ada 13 santriwati yang menjadi korban kebejatan Herry Wirawan.
Menurut versi P2TP2A, dari 11 korban, ada 8 orang anak yang hamil hasil perbuatan maksiat Herry Wirawan. Bahkan, ada satu (korban) sampai memiliki dua. Namun, berdasarkan perkembangan terbaru, Bunda Forum Anak Daerah (FAD), Atalia Praratya, total korban pemerkosaan Herry Wirawan berjumlah 13 orang.
Dari jumlah tersebut 9 bayi lahir dari 8 korban. Data tersebut muncul hasil dari rapat bersama Disdukcapil, Dinas Pendidikan, Biro Kesra, Kementerian Agama dan DP3AKB Jawa Barat.
Ironisnya lagi, anak-anak hal perkosaan Herry tersebut diakui sebagai anak yatim piatu. Bahkan, anak-anak tak berdosa itu dijadikan alat untuk meminta dana kepada sejumlah pihak.
Ya, banyak modus dan keanehan yang ditemukan dari pesantren yang dikelola oleh Herry Wirawan. Selain memperkosa belasan santriwati yang kemudian melahirkan anak-anak, Herry juga diketahui telah menyalahgunakan bantuan yang diberikan pemerintah.
*
Tidak semua pihak mendukung akan putusan MA yang menolak kasasi Herry Wirawan. Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) justru mengkritisi langkah MA yang tetap menghukum mati sebagaimana Putusan Pengadilan Tinggi Bandung.
KontraS dan LBHM memang mendukung penjatuhan pidana seberat-beratnya pada kejahatan seksual yang dilakukan oleh Herry Wirawan. Tetapi KontraS dan LBHM, menolak hukuman mati.
"Penolakan kasasi oleh MA justru menunjukkan lalainya negara dalam memahami penjatuhan vonis mati belum tentu menyelesaikan persoalan dan membuat jera para pelaku kekerasan seksual," begitu kata Wakil Koordinator KontraS Rivanlee Anandar.
Ini karena, vonis mati kepada Herry Wirawan dianggap melanggar ketentuan Pasal 28I UUD 1945 yang menjamin hak untuk hidup tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Selain itu, hukuman mati dinilai bertentangan dengan Konvensi Hak Sipil dan Politik (ICCPR).
KontraS dan LBHM pun menyakini bahwa kasus kekerasan seksual tidak dapat otomatis akan selesai melalui penjatuhan vonis mati terhadap pelaku. KontraS dan LBHM merujuk statistik dunia tentang perkosaan di berbagai negara menyebutkan hukuman mati atau hukuman kebiri tidak efektif menimbulkan efek jera.
KontraS dan LBHM juga menilai, penjatuhan vonis mati kepada Herry Wirawan seakan menunjukkan keberpihakan negara kepada korban. Padahal, negara hanya fokus untuk menjatuhkan hukuman kepada pelaku.
***
Terdakwa kasus pelecehan seksual terhadap 13 orang santri Herry Wirawan merespon putusan kasasi yang ditolak Mahkamah Agung (MA) dengan reaksi yang datar. Dia merespon putusan tersebut tidak dengan cara yang berlebihan atau lainnya.
"Dia tidak memberikan dampak atau reaksi yang berlebihan," begitu kata Kepala Rutan Kebonwaru Bandung Suparman.
Bahkan, selama menjalani masa tahanan di Rutan Kebonwaru, Herry Wirawan terlihat mengikuti semua kegiatan pembinaan, khususnya keagamaan. Interaksi sosial dengan tahanan lainnya relatif berjalan seperti biasa.
Diperkirakan, Herry Wirawan sudah mengetahui putusan kasasinya di MA ditolak. Namun, dia belum mendapatkan kutipan putusan tersebut dan sampai saat ini pengacara terdakwa sendiri belum berkunjung. "Kelihatan sudah (tahu kasasi ditolak), cuma memang kita belum dapat putusan dari MA," kata Suparman.
Rutan Kebonwaru hingga kini masih menunggu putusan dari Mahkamah Agung untuk segera ditindaklanjuti. Selain itu berkoordinasi dengan kejaksaan.
Di sisi lain, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat mengungkapkan tahapan pelaksanaan eksekusi mati terhadap Herry Wirawan, terdakwa kasus pelecehan seksual terhadap 13 orang santriwati. Namun, sejauh ini jaksa masih belum menerima putusan vonis mati dari Mahkamah Agung (MA).
Putusan resmi kasasi itu termasuk memastikan hak-hak terdakwa melakukan upaya hukum baik PK atau grasi. Apalagi, karena ini pidana mati, Kejati akan memastikan dulu seluruh hak terdakwa terpenuhi meski tidak menghalangi eksekusi.
Sebab, vonis mati Herry Wirawan dari Mahkamah Agung merupakan dasar untuk kejaksaan melakukann eksekusi. Setelah mendapatkan salinan putusan resmi, jaksa akan mempelajari dokumen.
Ya, kjaksaan akan memastikan bahwa hak-hak terdakwa untuk mengajukan upaya hukum luar biasa seperti peninjauan kembali (PK) dan grasi telah ditempuh. Namun, langkah PK tidak menunda atau menghalangi eksekusi. Hanya saja, terkait jangka waktu eksekusi ini, maka hal itu tergantung kepada upaya hukum yang dilakukan oleh terdakwa.
Yang pasti, putusan-putusan tegas terhadap predator anak seperti ini adalah cara paling baik untuk mengatakan kepada siapa saja, tidak ada tempat bagi predator anak di Indonesia. Kekerasan seksual kepada anak setara dengan kejahatan peredaran narkoba, korupsi dan terorisme di mana pilihan hukumannya adalah hukuman maksimal yaitu seumur hidup atau hukuman mati. Semoga.