REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --- Trauma bukan sekadar soal efek tidak menyenangkan akibat peristiwa di masa lalu, namun merupakan hal yang jauh lebih kompleks dan subjektif tergantung individu serta kejadian penyebab trauma yang dialaminya.
''Jadi bukan tentang kejadiannya saja. Ini tentang reaksi tubuh yang ada saat ini. Reaksi tubuh yang dimaksud adalah reaksi yang ingin melindungi diri secara terus-menerus," kata psikiater lulusan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang juga dariPerhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) Jiemi Ardian.
Reaksi tubuh tersebut, menurut Jiemi, diiringi dengan perasaan terancam, takut, cemas, tegang, atau bersiap siaga terhadap adanya pemicu sehingga mudah terpancing atau sensitif.
Ada beberapa jenis trauma, namun psikiater yang berpraktik di satu rumah sakit di Bogor ini menyebut tiap trauma yang dirasakan akan memiliki gejala yang terbagi dalam dua aspek, yakni hyperarousal dan hypoarousal.
''Hyperarousal terjadi ketika tubuh seseorang tiba-tiba menjadi sangat waspada ketika terpicu suatu hal yang menyebabkan trauma dan menyebabkan tindakan yang vigilance atau keras, sedangkan hypoarousal adalah sebaliknya dan bahkan mati rasa,'' jelas Jiemi.
Adapun seseorang yang masuk pada jendela hyperarousal akan bertindak seolah-olah sedang dalam bahaya, diiringi perasaan gelisah, amarah yang di luar kendali, bahkan cenderung ingin menyerang atau melarikan diri.
Sedangkan hypoarousal sebaliknya, seperti energi yang menghilang, respons tubuh yang berkurang, kelelahan, mati rasa secara emosional bahkan depresi. Gejala ini membuat tubuh orang yang memiliki trauma membeku tidak dapat melakukan apa pun.
''Apa pun penyebab traumanya, kedua gejala ini membuat tubuh berusaha menyelamatkan diri dengan cara hyperarousal atau hypoarousal dan bisa juga terjadi keduanya sekaligus. Reaksi ini terjadi secara otomatis di luar sadar," terang Jiemi.
Reaksi-reaksi ini dipilihkan oleh tubuh secara spontan sehingga menyulitkan pejuang trauma untuk menjalani kesehariannya, salah satunya dalam membuat keputusan dan mengontrol emosi.
Namun kabar baiknya, secara perlahan gejala dan reaksi trauma ini dapat diatasi dengan berbagai cara, mulai dari meditasi, mendengarkan musik, dan melakukan aktivitas baru yang digemari secara rutin.
Jiemi menyarankan, penderita trauma sebaiknya segera mencari pertolongan profesional untuk membantu menyadari dan mempelajari ulang bagaimana tubuh kita bereaksi dan cara mengatasinya. "Pesan untuk para pejuang trauma, jika rasanya sulit, tidak apa untuk menemui profesional kesehatan jiwa."
Menurut Jiemi, ketika pejuang trauma sudah mampu mengenali dan mengatasi reaksi dan masuk dalam fase stabil, mereka dapat beraktivitas secara efektif dan berhubungan baik dengan diri sendiri dan orang lain.