Oleh : Friska Yolandha, Redaktur Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, "Bu, sekarang kalo mau belanja, bayarnya bisa nanti loh," ucap anak sulung saya pada suatu malam.
"Nggak boleh, dong, beli sekarang ya bayar sekarang," kata saya.
"Nggak apa-apa, bu, ini kata iklan beli sekarang bayarnya nanti," katanya sambil menunjukkan iklan di youtube.
Tak hanya sekali, iklan ini beberapa kali muncul, bahkan juga di antara tayangan film anak-anak di televisi.
Beli sekarang bayar nanti alias paylater saat ini tengah disorot. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut, anak-anak muda masa kini kesulitan mengajukan kredit pemilikan rumah (KPR) karena penggunaan paylater yang tidak terkendali. Viral pula di media sosial informasi tentang fresh graduate yang kesulitan mendapatkan pekerjaan karena skor Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) buruk.
Anak-anak muda yang mengajukan KPR banyak ditolak bank karena masih memiliki tunggakan paylater. Meski nilainya kecil, tunggakan yang terlambat dibayar ini membuat skor kredit mereka di OJK buruk.
Dulu, nasabah bebas mengajukan pinjaman online atau paylater karena tidak tercatat dalam SILK OJK. Namun kini, paylater turut mempengaruhi kualitas keuangan seseorang.
Ngomong-ngomong soal paylater, saya teringat ketika dulu kartu kredit mulai booming. Orang-orang ramai mengajukan kartu kredit demi kemudahan bertransaksi. Tetapi, tidak sedikit pula yang terjebak 'utang' yang akhirnya membuat skor SILK mereka jadi buruk.
Cara kerja kartu kredit dan paylater atau pinjaman online sebetulnya tidak jauh berbeda. Kita diberi sejumlah dana untuk digunakan dan dapat membayarnya dengan mencicil. Pemilik platform memberikan tenggat waktu untuk pembayaran dan kita harus menyelesaikan cicilan sebelum jatuh tempo.
Bedanya, pengajuan kartu kredit sedikit lebih sulit dibandingkan paylater. Hanya bermodal KTP dan nomor telepon, seseorang kini bisa mengajukan pinjaman ke aplikasi.
Mudahnya pengajuan paylater membuat anak muda sekarang mudah pula berutang. Ditambah promo dan cashback, semakin masif pula penggunaan paylater ini.
Sayangnya, melek digital anak muda saat ini tidak sejalan dengan melek keuangan mereka. Kebanyakan mengajukan paylater tanpa berpikir bagaimana caranya mereka membayar cicilan tersebut. Apalagi, banyak di antara mereka yang belum memiliki penghasilan sendiri dan hanya mengandalkan uang dari orang tua. Akhirnya, paylater macet dan kena denda. Cicilan membengkak. Skor SILK makin nyungsep.
Pemerintah harus menggencarkan sosialisasi terkait aplikasi pinjaman online dan sejenisnya. Tidak hanya manfaat, pemerintah perlu memberikan gambaran pada generasi muda tentang dampak buruk berutang di aplikasi. Mereka juga perlu diberi pemahaman agar tidak menyepelekan pembayaran cicilan atau utang tepat waktu.
Selain itu, perlu juga diberikan edukasi keuangan sedari dini, terutama terkait menabung. Anak-anak perlu diedukasi untuk menahan diri mendapatkan barang yang diinginkan sampai uangnya terkumpul melalui menabung. Anak-anak perlu diajarkan untuk bersusah-susah menabung untuk bersenang-senang kemudian membeli barang yang diinginkan.
Selain literasi dan sosialisasi, pemerintah juga perlu membuat aturan yang lebih ketat terkait pengajuan paylater. Aturan yang lebih ketat diharapkan membuat anak-anak muda berpikir dua kali untuk berutang. Jangan sampai karena paylater mereka kesulitan berusaha di masa depan. Karena paylater: enaknya sekarang, nyeselnya nanti!