Senin 30 Oct 2023 05:18 WIB

Genosida Terencana Israel tak Cukup Dijegal dengan Resolusi PBB

Selanjutnya yang harus dilakukan adalah menerapkan embargo ekonomi terhadap Israel.

Red: Budi Raharjo
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi berbicara dalam pertemuan darurat Sidang Majelis Umum PBB untuk membahas aksi ilegal Israel di wilayah pendudukan Palestina di New York, AS, Kamis (26/10/2023).
Foto: ANTARA/HO-Kemlu RI
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi berbicara dalam pertemuan darurat Sidang Majelis Umum PBB untuk membahas aksi ilegal Israel di wilayah pendudukan Palestina di New York, AS, Kamis (26/10/2023).

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh Nidia Zuraya, Redaktur Internasional Republika.co.id

 

Dalam sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang digelar pada Jumat (27/10/2023) sore waktu New York atau Sabtu (28/10/2023) dini hari waktu Jakarta, suara mayoritas akhirnya meloloskan sebuah resolusi yang menyerukan gencatan senjata demi bantuan kemanusiaan di Gaza.

Perjuangan untuk meloloskan resolusi ini tidaklah mudah. Setelah sebelumnya, upaya untuk meloloskan resolusi gencatan senjata antara Israel dan Hamas berulang kali gagal di pertemuan Dewan Keamanan PBB. 

Dari 179 perwakilan negara yang menghadiri sidang Majelis Umum PBB, sebanyak 120 suara perwakilan negara mendukung. Sementara sebanyak 14 menolak dan 45 memilih abstain.

Namun, sesaat setelah resolusi tersebut disahkan, Israel justru semakin mengintensifkan pemboman di Gaza pada Jumat (27/10/2023) malam. Pemboman oleh jet tempur dan artileri Israel ini menyasar wilayah Gaza bagian utara.

Serangan udara tanpa jeda tersebut memutus komunikasi telepon dan internet di wilayah Jalur Gaza. Penyedia layanan telepon Palestina, Paltel, mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa pemboman tanpa henti telah menghancurkan “semua koneksi yang tersisa antara Gaza dan dunia luar”, yang menyebabkan gangguan total pada layanan komunikasi.

Terputusnya layanan komunikasi dan internet di Jalur Gaza membuat sekitar 2,3 juta orang yang hingga kini memilih bertahan di wilayah perang tersebut makin terisolir. Sebelumnya, sejak 9 Oktober 2023 Israel  melakukan blokade total terhadap wilayah ini. Dengan blokade total ini, Israel memutus aliran listrik serta menghentikan suplai air bersih dan bahan bakar ke Jalur Gaza. 

Untuk memenuhi kebutuhan penduduk Jalur Gaza, satu-satunya pembangkit listrik di Gaza menyuplai pasokan listrik sekitar 500 megawatt (MW). Namun sebelum Israel menghentikan pasokan, pembangkit listrik hanya menyediakan 180 MW.

Biasanya, Gaza bergantung pada dua sumber listrik utama yaitu pembangkit listrik satu-satunya yang telah beroperasi dengan setengah kapasitasnya, yaitu hanya menghasilkan 60 MW listrik dari potensi 120 MW. Sumber kedua yaitu listrik yang dibeli dari Israel, dengan total 120 MW. Menurut Perjanjian Oslo, yang ditandatangani Israel dengan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) pada 1993, Israel bertanggung jawab untuk memasok listrik ke Gaza sebesar 120 MW.

Blokade total ini diiringi dengan imbauan kepada seluruh penduduk sipil di Gaza Utara, lebih dari 1 juta orang, untuk mengungsi ke selatan Jalur Gaza dalam waktu 24 jam. Melalui selebaran yang dijatuhkan oleh drone, militer Israel mengatakan bahwa “Gaza telah menjadi medan perang."

Sayangnya, imbauan ini tak digubris. Mereka menolak pindah karena mengenang pengusiran yang dilakukan Israel pada 1948. Israel melabeli warga Gaza Utara yang menolak mengungsi sebagai teroris. Dengan dalih memerangi teroris dan para pejuang Hamas, militer Israel semakin membabi buta dalam menggempur wilayah Gaza. 

Bangunan sipil, seperti sekolah, rumah sakit, tempat ibadah dan kamp pengungsian xmenjadi sasaran roket dan rudal Israel. Termasuk juga dengan menggunakan bom fosfor putih yang dilarang dalam Konvensi Jenewa 1980.

Sejak pemboman Gaza dimulai pada 7 Oktober, serangan udara Israel telah menewaskan lebih dari 7.300 warga Palestina, termasuk hampir 3.000 anak-anak dan sekitar 2.000 wanita, menurut Kementerian Kesehatan Palestina. Jumlah korban tewas dan hilang di Gaza kini telah mencapai jumlah korban genosida Srebrenica.

Sayangnya kekejaman yang dipertontonkan Israel selama tiga pekan terakhir justru mendapat restu dari 58 perwakilan negara yang hadir dalam sidang Majelis Umum PBB akhir pekan kemarin. Negara adidaya seperti Amerika Serikat (AS) secara terang-terangan mendukung penuh tindakan Israel di Gaza. Bahkan, pemerintah AS baru-baru ini mengajukan anggaran tambahan untuk program bantuan militer ke Israel dan mengirimkan ahli strategi perang darat mereka untuk membantu militer Israel menyusun rencana serangan darat ke Gaza.

Jika 120 negara yang mendukung resolusi Majelis Umum PBB benar-benar menginginkan terciptanya perdamaian di Gaza, yang selanjutnya harus dilakukan adalah menerapkan embargo ekonomi terhadap Israel. Seperti halnya yang dilakukan oleh negara-negara Barat terhadap Rusia yang melakukan invasi militer ke Ukraina. 

Salah satu sektor usaha yang bisa dikenai sanksi adalah industri teknologi Israel. Industri teknologi merupakan sektor penting dalam perekonomian Israel karena menyumbang hampir setengah dari total ekspor nasional.

Sektor teknologi menyumbang 18 persen output negara pada tahun lalu dan hampir 48 persen ekspor senilai 71 miliar dolar AS, serta 14 persen pekerja bergaji di Israel. Mulai dari pengembangan perangkat lunak hingga manufaktur chip, seluruh pemain global di industri ini hadir untuk memanfaatkan ekosistem yang kaya di negara ini.

Untuk membuat Israel jera dan kapok, tidak cukup dengan sanksi sosial dan resolusi PBB. Tanpa adanya hukuman yang lebih berat seperti sanksi dan embargo ekonomi, maka resolusi PBB hanya akan dianggap angin lalu oleh Israel.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement