REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pencairan gletser di pegunungan Himalaya melambat selam tahun 2020, sebagai bagian dari efek samping perlambatan ekonomi selama pandemi Covid-19. Hal ini diungkap oleh studi internasional yang ditulis oleh para ilmuwan dari India, Jerman, dan Inggris yang dipublikasikan di jurnal Atmospheric Chemistry and Physics.
Berdasarkan simulasi iklim global, para penulis mengatakan mengembalikan polusi udara ke tingkat yang tercatat selama pandemi dapat melindungi gletser Himalaya, yang mungkin akan hilang pada akhir abad ini
"Melalui model iklim, kami dapat menunjukkan bahwa penurunan polusi udara mengurangi pencairan salju pada musim semi 2020 sebesar 0,5 hingga 1,5 milimeter per hari dan dengan demikian mengurangi limpasan air lelehan pada tahun tersebut hingga setengahnya," kata Bernd Heinold, seorang peneliti di Leibniz Institute for Tropospheric Research (TROPOS) dan salah satu penulis studi tersebut.
Tindakan karantina wilayah selama masa awal pandemi pada tahun 2020 menyebabkan penurunan dramatis dalam transportasi penumpang dan barang, emisi industri, dan konsumsi energi. Hasilnya, jelaga dan polusi gas rumah kaca di Asia juga menurun.
“Untuk mencapai efek yang sama dalam jangka panjang, misalnya melalui peralihan ke pasokan energi bersih dan moda transportasi yang lebih rendah emisi, diyakini dapat memiliki implikasi besar bagi miliaran orang di Asia Selatan, Tengah, dan Timur,” tulis Heinold dan rekan-rekannya seperti dilansir CTV, Ahad (24/12/2023).
Pegunungan Hindu Kush Himalaya dan dataran tinggi Tibet merupakan wilayah bersalju terbesar di luar kutub. Air yang mencair dari gletser-gletser ini mengaliri sungai-sungai di India dan Cina seperti Sungai Indus, Sungai Gangga dan Sungai Yangtze, yang menjadi ‘bahan bakar’ untuk pertanian, pembangkit listrik tenaga air, dan perekonomian negara-negara tersebut.
Pencairan salju Himalaya pada musim semi juga menyediakan setengah dari air tawar tahunan untuk sekitar empat miliar orang di Asia Selatan dan Asia Timur, menurut penelitian tersebut. Namun, kenaikan suhu akibat perubahan iklim telah menyebabkan hilangnya sekitar 40 persen area gletser Himalaya dibandingkan dengan Zaman Es Kecil pada Abad Pertengahan.
"Simulasi model untuk skenario ekstrem menunjukkan bahwa mencairnya salju di Himalaya dapat menyebabkan gletser di sana menghilang pada akhir abad ke-21," kata peneliti.
Meskipun suhu yang lebih tinggi yang disebabkan oleh perubahan iklim adalah bagian dari masalah, para penulis menulis bahwa jelaga yang menyerap cahaya sebenarnya berkontribusi lebih banyak terhadap pencairan salju glasial daripada gas rumah kaca di atmosfer. Hal ini karena ketika partikel gelap (dark particles) seperti jelaga menyerap cahaya, partikel tersebut akan memanaskan udara di sekitarnya.
"Meningkatnya kebutuhan energi di Asia Selatan yang padat penduduknya telah meningkatkan emisi gas rumah kaca dan partikel jelaga secara signifikan dalam beberapa dekade terakhir, yang menyebabkan meningkatnya penggelapan dan pencairan salju," jelas Heinold.
Namun, citra satelit menunjukkan bahwa selama periode penguncian antara Maret dan Mei 2020, salju di wilayah tersebut tampak lebih bersih, dengan polusi yang menyerap cahaya berkurang sekitar sepertiganya. Menurut penelitian tersebut, hal ini menyebabkan penurunan pencairan salju sebesar 25 hingga 70 mm pada tahun 2020, dibandingkan dengan rata-rata 20 tahun untuk bulan Maret hingga Mei di Himalaya bagian barat.
"Hasil penelitian kami mengkonfirmasi pentingnya mengurangi pemicu iklim berumur pendek seperti jelaga dan peran pelengkapnya dalam mitigasi CO2. Mengurangi polusi udara ke tingkat yang sama seperti selama karantina wilayah selama Covid-19 pada tahun 2020 dapat melindungi gletser Himalaya, yang jika tidak, akan berisiko menghilang pada akhir abad ke-21,” kata Ina Tege, seorang profesor di TROPOS dan salah satu penulis studi tersebut.