Jumat 14 Jun 2024 16:12 WIB

Konsesi Tambang untuk Ormas dan Potensi Hegemoniknya

Menawarkan sesuatu kepada pihak yang tak punya track record adalah hal mencurigakan.

Pertambangan (Ilustrasi)
Foto: dok republika
Pertambangan (Ilustrasi)

Oleh : Aad Satria Permadi, Ph.D (Dosen Psikologi Politik, Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Surakarta)

REPUBLIKA.CO.ID, Pemerintah membuka peluang organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan untuk mengelola pertambangan. Secara normatif, pemerintah melalui Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) mengatakan bahwa dasar pemikiran kebijakan pemerintah ini adalah amanat UUD 1945.

Menurut Siti Nurbaya Bakar selaku Menteri LHK, UUD 1945 mengamanatkan agar pemerintah memberikan ruang produktivitas kepada masyarakat. Lalu, amanat UUD 1945 ini kemudian diterjemahkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 25 tahun 2024 tentang perubahan atas PP nomor 96 tahun 2021 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara. Dengan PP tersebut, singkat cerita, ormas keagamaan melalui sayap bisnisnya diperbolehkan untuk mengelola konsesi pertambangan. 

Niat baik pemerintah ini agaknya disambut dengan defensif oleh mayoritas ormas keagamaan. Sampai hari ini, hanya PBNU yang menyambut tawaran pemerintah tersebut. Sedangkan Muhammadiyah dan ormas perwakilan agama-agama lainnya sepertinya menolak. Walaupun mereka sampaikan penolakan itu dengan bahasa diplomatis, "perlu pengkajian lebih lanjut", atau "pikir-pikir dahulu". Ada kecurigaan, itu singkatnya!

Kecurigaan tersebut sebenarnya dapat dimaklumi. Paling tidak, ada dua kecurigaan yang dapat dimaklumi. Pertama adalah kecurigaan terkait dengan martabat ormas Islam. Kedua adalah kecurigaan hegemonik penguasa.

Martabat Ormas di Alam Bawah Sadar Pemerintah

Yang menarik adalah keterangan dari Menteri LHK, Siti Nurbaya. Beliau mengatakan dengan lebih “jujur” tentang alasan mengapa PP nomor 25 tahun 2024 itu muncul. “Daripada ormasnya setiap hari nyariin proposal, minta apa, apa namanya mengajukan proposal, kan lebih baik dengan sayap bisnis yang rapi dan tetap profesional. Itu sih sebetulnya," kata Siti di Istana Kepresidenan, Jakarta, Ahad (2/6/2024).

Saya bilang “jujur” karena di akhir kalimat, beliau mengatakan “itu sih sebetulnya”. Ada kesan kuat bahwa hal-hal normatif yang disampaikan pemerintah, sebenarnya adalah sebuah hiper-realitas. Ada kesan kuat, percakapan-percakapan politik tertutup antar pengelola negara sejujurnya bukan tentang keinginan memberikan ruang produktivitas, namun lebih kepada perasaan risih pada tabiat ormas yang dianggap selalu UUD (Ujung-Ujungnya Duit). Mungkin kalau lebih “frank” lagi, ormas di mata pemerintah, adalah kumpulan orang yang suka minta uang. 

Dari sudut pandang psikologi, keterangan pers Menteri Siti Nurbaya menampakkan cara pandang pemerintah kepada ormas Islam. Jauh dari kesan penghormatan. Ormas akan merasa dipandang secara negatif, oleh karena itu agar tidak “merepotkan” maka diberi konsesi tambang. Apalagi ditambah kalimat-kalimat dan aksi panggung Menteri Bahlil yang kadang jauh dari kesan penghormatan terhadap ormas keagamaan.

Dalam suatu forum, Bahlil dengan gayanya yang provokatif bertanya kepada audiens apakah setuju atau tidak konsesi tambang diberikan kepada NU. Lalu ia melanjutkan, kalau ada yang tidak setuju, “kita apakan dia?!”. Video Pak Bahlil itu kemudian direspons oleh netizen dengan kecaman. Kebanyakan menganggap Pak Bahlil seperti preman. Mengancam siapa saja yang menolak konsesi kepada NU. 

Oleh karena itu, ketika tawaran pemerintah tidak disambut secara antusias oleh ormas-ormas keagamaan, menyeruak puja-puji netizen. Salah satu pujian banyak dialamatkan kepada Muhammadiyah, yang secara diplomatis menolak tawaran tersebut. Rata-rata netizen mengatakan bahwa Muhammadiyah berhasil menjaga kehormatan organisasi dan warganya. Menjaga kehormatan dari apa? Tentu dari cara-cara pemerintah memposisikan martabat ormas-ormas keagamaan. 

Masalah Kompetensi dan Teori Hegemoni Penguasa

Selain mempermasalahkan martabat ormas, banyak pihak yang meminta ormas-ormas keagamaan berhati-hati dengan tawaran pemerintah itu. Bahkan Prof Din Syamsudin mengatakan bahwa tawaran tersebut pada dasarnya adalah “jebakan”. 

Kecurigaan beberapa pihak tentang “jebakan” ini bukan tanpa dasar. Sangat wajar jika orang bertanya, mengapa yang ditawarkan kepada ormas-orams itu adalah bisnis yang sama sekali mereka tidak kuasai? Kalau memang ingin membuka ruang produktivitas, mengapa tidak dengan memberikan tawaran-tawaran bisnis yang dikuasai oleh ormas-ormas tersebut?

Menawarkan sesuatu kepada pihak yang tidak punya track record kompetensi di bidangnya, adalah sesuatu yang mencurigakan. Apalagi yang ditawarkan adalah konsesi pertambangan. Bisnis pertambangan adalah bisnis yang asing bagi ormas keagamaan, bahkan bagi sayap bisnis mereka.

PBNU saja yang menerima tawaran konsesi itu, belum punya saya bisnis (PT) yang bergerak di bidang pertambangan. Saat ini, PBNU sedang membuat PT yang akan mengambil peran dalam konsesi tersebut. Terima konsesi dulu, baru buat PT-nya. Artinya, sebenarnya PBNU tidak memiliki kompetensi dalam konsesi tambang ini. Banyak pihak yang memprediksi, saya bisnis PBNU itu nanti hanya akan menjadi broker izin pertambangan. Hal ini karena PBNU memang tidak siap untuk mengelola konsesi pertambangan yang mereka ambil itu.

Dalam kajian psikologi politik, intensi utama rezim adalah mempertahankan kekuasaan. Caranya bisa macam-macam. Salah satunya adalah dengan cara membuat kelompok masyarakat “tergantung” (dependent) dengan rezim. Ketergantungan yang dimaksud adalah ketergantungan tanpa bargaining. Artinya, kelompok masyarakat tidak dapat mengajukan tuntutan apapun dalam ketergantungannya tersebut.

Ketergantungan kelompok masyarakat kepada rezim pada dasarnya adalah interaksi yang hegemonik. Dengan membuat kelompok masyarakat tergantung kepadanya, maka pemerintah telah menguasai kelompok masyarakat tersebut. Disebut hegemonik karena penguasaannya terjadi dalam interaksi yang harmonis. Kelompok masyarakat tidak merasa diperintah atau didominasi. Namun kelompok mayarakat yang tergantung itu, dengan sendirinya akan menuruti perintah dari rezim. Semua itu karena ketergantungan atau dependensi.

Nah, apa hubungannya dengan masalah kompetensi? Justru hegemonik atau penguasaan terhadap suatu kelompok, akan sangat efektif jika interaksinya dimulai dari masalah inkompetensi. Saya teringat ceramah mantan kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) di era Presiden Megawati, bapak Kwik Kian Gie. Pak Kwik menceritakan tentang hubungan antara korupsi dan pembangunan di Indonesia. Saat itu, ada audiens yang bertanya, mengapa Indonesia yang katanya korup, namun malah mendapatkan bantuan dari IMF. Pak Kwik waktu itu menjawab, justru karena tahu kita korup, makanya diberi pinjaman uang. 

Maksud Pak Kwik, justru Indonesia akan dikuasai dengan utang. Indonesia itu sempurna untuk dikuasai dengan utang. Karena oknum-oknum pejabatnya banyak yang korup, tapi punya aset kekayaan alam yang besar. Korupsi pada dasarnya adalah inkompetensi mengelola keuangan. Tapi justru orang-orang yang inkompeten ini adalah target empuk untuk dipinjami uang. Mengapa? Karena mereka memiliki aset kekayaan alam yang besar. Begitu gagal bayar, maka asetnya diambil. Atau dinasehati sedikit, dan diberi saran. Tapi sarannya sama, harus utang lagi di IMF.

Lebih sederhananya lagi, jika kita mau menguasai rumah seseorang. Maka buat dia berutang dengan jaminan rumahnya. Lalu setelah berutang, ciptakan kondisi sedemikian sehingga, ia tidak mampu membayar setelah jatuh tempo. Maka dengan sendirinya rumahnya dapat kita kuasai. Atau kita dapat mengatakan, "oke, rumah tidak saya ambil tapi just do what I say". Maka berlakulah penguasaan terhadap orang yang tidak kompeten mengelola uang.

Jika banyak ormas yang tidak mau mengambil konsesi pertambangan tersebut dengan alasan takut dijebak, itu masuk akal. Secara eksplisit mungkin mereka tidak tahu dijebak dalam hal apanya. Namun jika dicari penjelasan logisnya, penguasaan rezim terhadap suatu kelompok dengan memberikan peluang di luar kompetensinya, itu sudah bukan barang baru dalam lintas sejarah manusia.

Ada kekhawatiran seperti metafora di atas. Apalagi masalah pertambangan di Indonesia, bukan hanya perkara bisnis. Ada horizon masalah lingkungan sampai dengan keadilan terhadap masyarakat lokal. Dengan banyaknya masalah di lapangan tersebut, maka dapat diprediksi, ormas yang tidak punya kompetensi tentang perkara-perkara pertambangan akan mendapatkan banyak masalah. Baik darisegi bisnis, sosial, sampai masalah hukum.

Ketika sudah menghadapi kompleksitas masalah tersebut, maka kepada siapa lagi mereka akan minta bantuan? Ya! Kepada rezim! Rezim akan turun tangan seperti hero untuk menyelamatkan ormas yang bermasalah tersebut. Tapi, “tidak ada makan siang gratis” dalam dunia politik. Dengan intensi utamanya yaitu mempertahankan kekuasaan, maka ketergantungan ormas itu akan dimanfaatkan untuk melanggengkan kekuasaan. 

Mengapa Malah Ormas Kegamaan?

Wajar jika masyarakat curiga. Konsesi tambang kok juga dikasih ke ormas keagamaan. Bahkan memang yang santer diberitakan, yang merespons peluang konsesi adalah ormas keagamaan. Ormas-orang non-keagamaan malah sepi pemberitaan. 

Sepanjang sejarah, kekuatan yang paling sulit ditaklukkan dengan perlawanan frontal adalah kelompok-kelompok keagamaan. Di Indonesia sendiri, intelektual-intelektual yang kritis terhadap rezim mayoritas muncul dari gerakan-gerakan keagamaan. Hal ini dapat dimaklumi, karena pada dasarnya ketundukan ormas keagamaan itu hanya mutlak kepada Tuhan. Bukan rezim. Artinya, kalau rezimnya baik, ormas akan dukung. Sedangkan kalau rezimnya melenceng, mereka tidak takut bersuara. 

Apalagi, sepertinya, trust masyarakat lebih besar kepada pemimpin-pemimpin ormas keagamaan daripada rezim. Artinya, sekali ormas keagamaan bersuara mengkritik pemerintah, maka lautan manusia akan ikut mengkritik pemerintah. Dan ini tentu akan mengganggu stabilitas politik. Dengan alasan-alasan tersebut, masyarakat akan merasa logis jika rezim perlu menguasai ormas keagamaan. Ini yang kemudian dihubung-hubungkan dengan tawaran konsesi tambang. 

Dengan kondisi ekonomi yang memburuk, di mana nilai tukar rupiah terhadap dolar semakin melemah, tentu meningkatkan kecurigaan masyarakat. Ada juga korupsi di bidang pertambangan yang merugikan negara 271 triliun. Belum lagi perilaku yang terindikasi sebagai nepotisme yang ditunjukkan terang-terangan.

Contoh saja, keluarga Presiden Jokowi yang diangkat menjadi salah satu manajer di Pertamina. Apalagi masalah Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang banyak menjadi sorotan masyarakat sebagai rapor merah rezim Jokowi. Dan masih banyak lagi kondisi ekonomi-sosial masyarakat yang meresahkan. Dan ini diprediksi akan menjadi “bom waktu” untuk keberlanjutan kekuasaan rezim.

Seperti biasa, jika inkompetensi rezim dalam mengelola negara sudah banyak terkuak, maka biasanya ormas keagamaanlah yang paling banyak mengkritik. Maka, sebelum itu terjadi, ormas-ormas tersebut, harus dikuasai. Paling tidak begitulah jalan pikiran masyarakat yang bersesuaian dengan sejarah dan teori psikologi politik.

Ada pula kecurigaan bahwa konsesi tambang ini adalah cara rezim mempertahankan kekuasaan dengan “adu domba”. Rezim sebelumnya sudah paham, bahwa akan ada yang menerima dan menolak konsesi tambang tersebut. Seperti yang telah diuraikan di atas, nantinya diprediksi, ormas-ormas keagamaan yang menerima konsesi, akan dapat dikuasai oleh rezim. Bagi yang menolak, akan melanjutkan perannya di masyarakat, mengkritisi rezim. Dengan kekuatan kontrolnya kepada sebagian ormas keagamaan, maka rezim mempunyai peluang untuk melawan kritik masyarakat dengan kekuatan ormas yang dikuasainya. Sederhananya, ormas keagamaan akan jadi tameng pemerintah. 

Niat Baik, Cara, dan Waktu yang Tepat

Walaupun kecurigaan masyarakat itu punya dasar yang logis, namun kita perlu mengapresiasi niat baik pemerintah dalam memperkuat ormas-ormas di Indonesia. Hanya saja, niat baik itu perlu disampaikan dengan cara dan waktu yang tepat. Presiden Jokowi sepertinya perlu mangangkat juru bicara yang memiliki kompetensi public relation. Jangan lagi meminta menteri-menteri bergaya “preman” untuk berbicara soal kebijakan-kebijakan penting. Karena pada dasarnya, manusia memahami komunikasi bukan dari perkataan, tapi dari bagaimana kata-kata itu disampaikan. Pesan komunikasinya baik, tapi jika disampaikan dengan cara yang buruk, maka pesan komunikasi itu akan dipahami dengan cara yang buruk dan penuh prasangka. 

Jika ingin memperkuat ormas-ormas, khususnya ormas keagamaan, maka berikan stimulus penguatan yang sesuai kompetensi ormas-ormas tersebut. Atau berikan keringanan-keringanan tertentu, sehingga ormas-oras itu dapat bergerak dengan lincah dan berkembang. Misalnya, berikan pembebasan pajak tanah dan bangunan pada ormas. Bentuk-bentuk dukungan seperti ini, sebaiknya dibicarakan pemerintah dengan ormas-ormas. Kalau tiba-tiba diputuskan sedniri oleh pemerintah dengan memberi peluang konsesi tambang, tentu akan memunculkan banyak kecurigaan.

Pemberian peluang konsesi tambang untuk ormas-ormas juga kurang tepat waktunya. Akhir-akhir ini, pemerintah sedang mendapatkan sentimen negatif dari publik. Dari masalah indikasi nepotisme, rencana penarikan pajak-pajak yang “aneh-aneh” seperti Tapera dan pajak ibu bersalin, dan memburuknya kondisi ekonomi nasional. Bagi masyarakat, apapun yang dilakukan pemerintah akan dipersepsi sebagai usaha untuk mengambil keuntungan dari masyarakat. Baik keuntungan finansial, maupun keuntungan politik untuk mempertahankan kekuasaan. 

Di masa yang sulit bagi pemerintah ini, sebaiknya jika bermaksud untuk memperkuat ormas-ormas, sebaiknya pemerintah memilik cara-cara “meringankan beban”, jangan memberikan peluang atau tawaran. Apa yang diringankan? Itu yang lebih tahu adalah ormas-ormas tersebut. Jadi pemerintah jangan menganggap dirinya sebagai pihak yang paling paham kebutuhan ormas. Ormas perlu diajak bicara, dan didengarkan kebutuhannya. 

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement