REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- WWF merilis laporan Sustainable Banking Assessment (SUSBA) ke-7, sebuah penilaian komprehensif terkait integrasi aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola/environmental, social, and governance (LST/ESG) terhadap 39 bank di negara-negara ASEAN dan 10 bank besar di Jepang dan Korea Selatan. Khusus untuk Indonesia, SUSBA 2023 mencakup 11 bank swasta dan BUMN, jumlah responden tertinggi di seluruh di kawasan ASEAN dan Asia Timur.
Laporan SUSBA terkini mencatat penambahan tiga bank (BTPN, BSI, dan Bank Danamon) dibanding tahun sebelumnya. Dari 11 bank, baru empat yang memiliki komitmen untuk mencapai net zero. Kemudian, pengembangan produk keuangan yang mendukung transisi net zero masih terbatas, terutama untuk skala kecil dan menengah. Dan juga, risiko dampak alam dan keanekaragaman hayati terhadap kinerja keuangan belum menjadi urgensi kebanyakan bank di Indonesia.
SUSBA memiliki enam pilar yakni Tujuan, Kebijakan, Proses, Manusia, Produk, dan Portofolio untuk mengukur perkembangan integrasi ESG pada sektor perbankan. Risiko Perubahan Iklim terhadap Sektor Perbankan Indonesia secara geografis rentan terhadap perubahan iklim.
Berdasarkan skor data tentang kerentanan perubahan iklim setiap negara (ND-GAIN 2021), yang mengukur kerentanan dan kesiapan terhadap risiko fisik iklim Indonesia membutuhkan penguatan aksi-aksi iklim. Tak terkecuali untuk sektor swasta dengan risiko transisi seperti dinamika regulasi di tingkat global, perkembangan teknologi yang pesat, dan perubahan kondisi pasar.
“Kinerja bank sebagai lembaga intermediasi keuangan, tidak luput dari paparan risiko perubahan iklim tersebut. Perubahan pasar dan kebijakan terkait bahan bakar fosil, misalnya, menjadi sebuah risiko yang perlu diperhitungkan pihak perbankan,” kata Chief Conservation Officer, WWF-Indonesia Dewi Rizky, Rabu (20/6/2024).
“Oleh karena itu, bank perlu meningkatkan kapasitas untuk mengidentifikasi dan mengelola dua risiko utama yakni perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. Pada saat yang sama bank juga berperan penting dalam meningkatkan ketahanan sektor-sektor lain terhadap perubahan iklim,” kata Dewi.
Target net zero tidak akan tercapai tanpa langkah nyata menjaga kondisi lingkungan. Berdasarkan SUSBA 2023, dukungan perbankan untuk mengurangi dampak negatif terhadap alam dan sosial masih sangat terbatas yakni sebesar 5 persen. Salah satu temuan positif SUSBA menunjukkan manajemen tertinggi perbankan yaitu direksi dan komisaris sudah memiliki fungsi dan tanggung jawab untuk mengelola risiko ESG dan perubahan iklim.
Namun, kapasitas bank dalam mengukur tingkat risiko tersebut masih minim dan perlu ditingkatkan. Laporan SUSBA menunjukkan baru empat bank memiliki target net zero, yakni BRI dan BTPN pada 2050, serta BCA dan BNI pada 2060. Dua bank (BCA dan BRI) telah menghitung emisi gas rumah kaca (GRK), namun baru satu bank (BRI) yang menerapkan Science-based Target Initiative (SBTi).
“Perbankan Indonesia perlu meningkatkan upaya atas kebijakan dan prosedur agar nasabah mereka memiliki rencana mitigasi/ rencana aksi untuk mencapai target Perjanjian Paris. Lebih lanjut, industri kecil dan menengah yang terlibat dalam rantai pasok patut mendapat perhatian ekstra karena mereka umumnya padat karya dan menjadi kelompok yang rentan terhadap risiko perubahan iklim,” kata Sustainable Finance Lead, WWF-Indonesia Rizkia Sari Yudawinata.
Data dari OJK dan BPS menunjukkan rasio kredit ke kelompok UMKM mencapai 12,38 persen terhadap total aset perbankan pada 2023. Berdasarkan SUSBA 2023, dukungan khusus yang disalurkan untuk usaha kecil dan menengah (UKM) dalam bertransisi menerapkan praktik berkelanjutan masih sangat terbatas 27 persen.
Tanpa dukungan kuat, industri padat karya rentan terkucilkan. Perbankan perlu mengembangkan produk yang solutif dan sekaligus memfasilitasi langkah mereka menerapkan praktek keberlanjutan. n Lintar Satria