Senin 01 Jul 2024 12:00 WIB

Tujuan Iklim Dunia di Ujung Tanduk

Negara-negara didesak segera beralih ke ekonomi rendah karbon.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Perubahan iklim (ilustrasi)
Foto: www.freepik.com
Perubahan iklim (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Delegasi kegiatan iklim di London pekan ini diingatkan bahwa tujuan iklim dunia berada di ujung tanduk. Negara-negara harus menyalurkan lebih banyak dana dan menetapkan kebijakan yang diperlukan untuk beralih ke ekonomi rendah karbon.

Pada pekan pertama musim panas, negara-negara di wilayah bumi bagian utara mengalami gelombang panas. Sekitar 45 ribu orang yang menghadiri London Climate Action Week diingatkan kembali perlunya komitmen nyata dalam perundingan iklim yang akan diadakan di Baku, Azerbaijan pada November mendatang.

Baca Juga

Di Baku, negara-negara akan mencari kesepakatan untuk menetapkan target investasi tahunan ke negara-negara berkembang. Ini sebagai ganti janji negara kaya untuk menyalurkan 100 miliar dolar AS per tahun untuk penanggulangan iklim pada 2020 lalu dan dipenuhi tahun 2022.

Dalam kegiatan itu, para delegasi juga diperingatkan negara-negara harus membuat rencana yang lebih ambisius untuk memangkas emisi pada tahun 2035. Apalagi, rata-rata suhu bulanan bumi kembali memecah rekor. Beberapa sudah melanggar target membatasi suhu bumi di bawah 1,5 dejarat Celsius dari periode pra-industri.

"Kita membutuhkan pendanaan dalam skala besar," kata  Penasihat Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Aksi Iklim Selwin Hart.

“Terlepas dari alasan ekonomi yang sangat jelas mengenai urgensi dan ambisi, kita tidak bergerak cukup cepat. Dan menurut saya, krisis iklim adalah krisis kemauan politik," katanya.

Penelitian tahun 2023 memperkirakan pada tahun 2030, negara-negara berkembang perlu menginvestasikan sekitar 2,4 triliun dolar AS per tahun untuk mendekarbonisasi ekonomi mereka. Sebanyak 1 triliun dolar AS di antaranya berasal dari sumber eksternal.

Pembicaraan pra Perundingan Iklim PBB di Baku yang digelar di Bonn, Jerman, bulan ini memperlihatkan adanya perpecahan di antara negara-negara dengan ekonomi terbesar di dunia mengenai siapa yang harus berkontribusi  dan seberapa besar kontribusinya.

UN Climate Change High-Level Champion for Egypt atau Juru Kampanye Tingkat Tinggi Perubahan Iklim PBB untuk Mesir Mahmoud Mohieldin mengatakan diskusi-diskusi tersebut masih sangat jauh dari mencapai kesepakatan mulai dari perspektif ekonomi berkembang atau pasar negara berkembang.

Mohieldin mengatakan, walaupun target jumlah dananya memang penting, tapi semua penawaran pendanaan juga harus jelas bentuknya. Apakah itu pinjaman, ekuitas atau jaminan dan bagaimana dihitung untuk memastikan pemerintah melaksanakan janji mereka.

“Sayangnya beberapa perekonomian besar tidak melaksanakan tanggung jawabnya, banyak janji yang tidak dihormati," katanya.

Penasihat Komisi Ekonomi PBB untuk Afrika Brian O'Callaghan merasa khawatir karena komitmen mengatasi dampak perubahan iklim tidak tercermin dalam pembahasan soal pendanaan iklim.

Sementara itu, dalam gelaran London Climate Action Week disampaikan kebijakan-kebijakan yang mendorong teknologi bersih dan memangkas emisi di negara-negara berkembang harus lebih kuat. Ini sesuai dengan pernyataan Mission 2025 yang disampaikan pekan ini.

Mission 2025 yang terdiri dari perusahaan dan investor besar, dan kota-kota di seluruh dunia mendorong pemerintah untuk menetapkan kebijakan iklim yang lebih ambisius dalam perundingan target iklim yang akan disampaikan awal tahun depan.

"Rintangan utama untuk meraih aksi iklim yang kami butuhkan bukan ekonomi, bukan teknologi tapi perubahan politik dan institusional," kata pendiri London Climate Action Week dan Chief Executive Officer perusahaan penelitian E3G Nika Mabey. 

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement