Kamis 05 Sep 2024 15:00 WIB

Luhut: Transisi Energi Harus Adil dan Beriringan dengan Dekarbonisasi

Indonesia tidak dapat 100 persen menerapkan solusi dari negara-negara maju

Rep: Lintar Satria / Red: Satria K Yudha
Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Foto: Istimewa
Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Republik Indonesia Luhut Binsar Pandjaitan menekankan transisi energi harus adil dengan ekonomi dan berjalan beriringan dengan dekarbonisasi. Hal ini disampaikan Luhut dalam Sesi Plenari Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2024 yang mengangkat tema Future of Energy Transition in Emerging Economies, di Jakarta, Kamis (5/9/2024).

“Transisi energi harus mengatasi pertumbuhan ekonomi, memastikan keamanan energi, dan mengatasi perubahan iklim secara efektif, tanpa mengorbankan aspek-aspek penting ini," kata Luhut.

Baca Juga

Ia mengatakan tidak ada satu teknologi atau solusi tunggal yang dapat menyelesaikan pengurangan emisi secara global. Luhut mengatakan dunia harus menghindari bersikap dogmatis tentang satu teknologi pengurangan karbon.

Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi telah membentuk Gugus Tugas Transisi Energi Nasional untuk mendorong inisiatif transisi energi di berbagai sektor. Luhut menjelaskan salah satunya melalui Just Energy Transition Partnership (JETP) dengan negara-negara International Partners Group (IPG) dan Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ), telah teridentifikasi lebih dari 400 proyek prioritas di sektor ketenagalistrikan yang siap didanai.

Luhut mengatakan transisi energi Indonesia tidak hanya berfokus pada pengurangan emisi.  Tetapi juga pada mendorong pertumbuhan ekonomi dengan mengembangkan industri hijau yang akan menopang perekonomian dalam jangka panjang.

"Untuk mempertahankan dan mempercepat transisi ini, kita membutuhkan kolaborasi dan investasi. Masa depan transisi energi Indonesia bergantung pada upaya kolektif semua pemangku kepentingan,” kata Luhut.

PLN telah menerbitkan program Percepatan Penerapan Energi Terbarukan (ARED), yang bertujuan untuk memiliki sekitar 480GW kapasitas energi terbarukan pada tahun 2060. Melalui kemitraan dengan Singapura, Indonesia telah mengembangkan industri fotovoltaik  surya dan Sistem Penyimpanan Energi Baterai (Battery Energy Storage System, BESS), yang memungkinkan Indonesia untuk mengekspor listrik hijau ke Singapura, yang dihasilkan oleh panel surya yang diproduksi di Indonesia.

“Di sektor transportasi, kita sudah memperkenalkan program insentif dan investasi untuk mempercepat adopsi EV dan pengembangan industrinya," kata Luhut.

Ia mengatakan, tahun lalu Indonesia hanya memiliki dua model mobil BEV (Battery Electric Vehicle). Kini sudah ada lebih dari 25 model. Penjualan BEV meningkat lebih dari dua kali lipat, dari 5.800 unit pada paruh pertama tahun 2023 menjadi 12.200 unit pada paruh pertama tahun 2024. 

Luhut menegaskan dari implementasi inisiatif transisi energi, tidak ada solusi yang sama persis. Setiap negara memiliki titik awal dan keterbatasan yang unik untuk dekarbonisasi. 

“Negara-negara berkembang harus terus tumbuh sambil juga mengurangi emisi," kata Luhut.

Ia mengatakan Indonesia tidak dapat 100 persen menerapkan solusi dari negara-negara maju, karena kapasitas fiskal, akses teknologi, dan realitas politik mereka sangat berbeda. "Setiap negara harus memilih dan menerapkan strategi berdasarkan konteks dan kebutuhannya sendiri,” kata Luhut.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement