Selasa 15 Oct 2024 14:55 WIB

Kualitas Udara Kota Besar Memburuk, BMKG Ungkap Penyebab Utamanya

Terdapat peningkatan konsentrasi GRK dan perubahan komposisi kimia atmosfer.

Rep: Lintar Satria / Red: Satria K Yudha
Suasana Monas yang tertutup polusi di Jakarta, Jumat (21/6/2024).
Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Suasana Monas yang tertutup polusi di Jakarta, Jumat (21/6/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Transportasi merupakan penyumbang terbesar polusi udara di perkotaan. Masalah ini diperparah kualitas bahan bakar yang tidak sesuai standar.

Sekretaris Utama Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwi Budi mengatakan, kualitas udara terus memburuk sejak revolusi industri. Menurutnya, aktivitas manusia seperti penggunaan kendaraan bermotor dan operasi pabrik tanpa penyaring cerobong asap menjadi penyebab utama. "Sejak transportasi dan industri mulai berkembang, di situlah kualitas udara mulai memburuk," kata Dwi Budi di sela Climate & Air Quality Fair 2024 BMKG, Selasa (15/10/2024).

Baca Juga

Ia menambahkan, di Indonesia, kota-kota besar dengan tingkat kemacetan tinggi seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan memiliki kualitas udara paling buruk. Data BMKG menunjukkan transportasi merupakan penyumbang terbesar polusi udara di kota-kota tersebut, diperparah kualitas bahan bakar yang tidak sesuai standar.

"Kita seharusnya sudah menggunakan bahan bakar standar Euro 4, namun masih banyak bahan bakar dengan sulfur tinggi yang berdampak besar pada kualitas udara," jelasnya.

Dwi Budi menekankan bahwa daerah pegunungan yang lebih sedikit aktivitas manusianya cenderung memiliki kualitas udara yang lebih baik. Namun, faktor cuaca seperti angin kencang dan hujan dapat membantu mengurangi polusi udara di kota-kota besar.

Dalam hal penanganan kebakaran hutan dan lahan (karhutla), Dwi Budi menyebutkan bahwa BMKG bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah melakukan upaya pencegahan dengan teknologi modifikasi cuaca.

"Kami menggunakan citra satelit untuk memantau hotspot di wilayah rawan karhutla dan melakukan penyiraman di daerah tersebut sebelum kebakaran terjadi," katanya.

BMKG juga secara aktif memantau kualitas udara di beberapa lokasi strategis. Pengukuran dilakukan di enam lokasi, termasuk Jakarta dan Bogor sebagai daerah urban, serta Muaro Jambi yang terdampak karhutla. Dwi Budi menekankan bahwa data ini penting untuk memahami bagaimana aktivitas manusia mempengaruhi perubahan iklim.

Dengan langkah-langkah ini, Dwi Budi berharap BMKG dapat berkontribusi lebih dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di Indonesia. Berdasarkan data Kedeputian Klimatologi BMKG, terdapat peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) dan perubahan komposisi kimia atmosfer yang telah diyakini secara ilmiah dapat mengubah sistem iklim.

BMKG mengatakan permasalahan perubahan komposisi kimia atmosfer atau yang lebih dikenal dengan istilah kualitas udara, telah dirasakan sejak era revolusi industri yaitu dimulai dengan adanya fenomena hujan asam, penipisan lapisan ozon, dan polusi udara.

BMKG menambahkan data GRK dan kualitas udara diperlukan untuk melihat bagaimana pengaruh aktivitas manusia terhadap meningkatnya konsentrasi GRK yang memicu perubahan iklim.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement