Sabtu 19 Apr 2025 18:41 WIB

Fenomena Menikah di Bulan Syawal dan Zakat di Jepang

Nabi menganjurkan Muslim menikah di Bulan Syawal.

Penulis bersama pembicara lainnya berdiskusi tentang sunah menikah.
Foto: Dokpri
Penulis bersama pembicara lainnya berdiskusi tentang sunah menikah.

Oleh : Fathurrochman Karyadi*

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seseorang bercerita tentang fenomena yang dialaminya saat Syawal, sebuah bulan setelah Ramadan. Di bulan ini, betapa padatnya jadwal hajatan pernikahan koleganya yang ia hadiri. Di satu sisi dia bahagia karena pernikahan adalah ibadah dalam agama, satu sisi dia harus menyiapkan banyak “bingkisan” untuk para pengantin baru.

Kisah ini menjadi tema menarik dalam KISWAH, Kajian Siniar dan Dakwah, yang diselenggaraan oleh Soul Kajian dan Soul Pesantren di Jakarta. Secara historis, bulan ini menjadi saksi atas pernikahan Rasulullah SAW dengan Sayyidah Aisyah r.a. sebuah fakta yang kemudian dijadikan dasar oleh banyak ulama untuk menyebut bulan ini sebagai bulan yang baik untuk menikah.

Baca Juga

Imam Nawawi pensyarah hadits dengan tegas menyatakan bahwa di antara kesunahan di bulan Syawal ialah menikah dan berjimak dengan pasangan yang sah. Para pengikut Imam Syafii sepakat dengan pendapat ini. Termasuk Dar al-Ifta al-Mishriyyah atau Lembaga Fatwa Mesir yang menolak tuduhan buruk menikah bulan Syawal karena dianggap sebagai tasyaum atau pamali bagi bangsa Arab.

Konon, masyarakat Arab pra-Islam dulu justru menganggap bulan Syawal sebagai bulan sial untuk menikah, karena konon unta-unta betina saat itu sedang ‘kehilangan susu’, simbol kelemahan dan ketidakstabilan. Pun ketika dilihat secara bahasa Syawal dari kata “syalat al-Ibil, seorang unta mengangkat ekornya. Pendapat lain menyatakan Syala berarti meningkat, mengangkat, dan mengangkut.

Ahmad Rizal Ali Fahmi atau Mas Rizal sebagai narasumber di KISWAH menyatakan, Rasulullah SAW sengaja menikah di bulan Syawal sebagai bentuk pembalikan budaya, menolak keyakinan jahiliyah, dan meluruskan cara pandang umat terhadap waktu dan keberuntungan.

Menikah di bulan Syawal menjadi sunnah bukan karena keutamaan waktu itu sendiri, tetapi karena Rasulullah SAW pernah melakukannya. Namun, bukan berarti menikah di bulan lain menjadi kurang baik. Jangan sampai seseorang memaksakan pernikahan hanya demi mengejar waktu Syawal, padahal belum siap dari sisi mental, finansial, maupun restu orang tua.

Manuskrip Nusantara Berkata Lain

Sebuah fragmen manuskrip Melayu dengan titimangsa 1264 H atau 1848 M koleksi Leiden Belanda mengungkapkan hal yang cukup menarik. Dalam manuskrip berbahasa Arab dengan teks antarbaris berbahasa Melayu dan beraksara pegon atau Jawi itu secara lengkap mengungkapkan di bawah ini:

“Nabi Muhammad SAW telah bersabda, ketahuilah bahwa sesungguhnya ini menejelaskan dalam bab nikah dan perpindahan (pindah rumah). Jika ada seseorang menikah di bulan Muharram maka alamatnya banyak yang sakit. Jika ada seseorang menikah di bulan Shafar maka alamatnya istri ditalak suaminya. Jika ada seseorang menikah di bulan Rabiulawal maka alamatnya meninggal dunia. Jika ada seseorang menikah di bulan Rabiulakhir maka alamatnya selamat dalam segala hal. Jika ada seseorang menikah di bulan Jumadilawal maka alamatnya banyak kedatangan kebaikan dan rezeki. Jika ada seseorang menikah di bulan Jumadilakhir maka alamatnya banyak yang sakit. Jika ada seseorang menikah di bulan Rajab maka alamatnya buruk. Jika ada seseorang menikah di bulan Sya’ban maka alamatnya banyak kebaikan. Jika ada seseorang menikah di bulan Ramadan maka alamatnya mendapat emas dan perak. Jika ada seseorang menikah di bulan Syawal maka alamatnya banyak meninggal dunia. Jika ada seseorang menikah di bulan Dzilqai’dah maka alamatnya mendapat hewan kerbau, sapi, dan kambing. Jika ada seseorang menikah di bulan Dzilhijjah maka alamatnya banyak yang mencaci-maki dan yang memuji.”

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement