Senin 26 May 2025 08:54 WIB

Ekonomi Kurban 2025, Spirit Berbagi di Tengah Krisis Kelas Menengah Oleh: Jaharuddin

Kelas menengah kini lebih fokus pada kebutuhan pokok dan mengurangi belanja.

Petugas paramedik memeriksa kesehatan seekor sapi milik pedagang di Pasar Hewan Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Rabu (21/5/2025).
Foto: ANTARA FOTO/Aji Styawan
Petugas paramedik memeriksa kesehatan seekor sapi milik pedagang di Pasar Hewan Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Rabu (21/5/2025).

Oleh : Jaharuddin, Pengamat Ekonomi Syariah, Dosen FEB Universitas Muhammadiyah Jakarta

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kurban adalah ibadah tahunan yang mengandung dimensi sosial dan ekonomi yang sangat luas. Bagi umat Islam, kurban bukan hanya bentuk kepatuhan kepada syariat, tetapi juga simbol solidaritas dan mekanisme distribusi kekayaan yang sangat inklusif. Di negara mayoritas Muslim seperti Indonesia, pelaksanaan ibadah kurban telah menjadi praktik keuangan sosial Islam yang bukan hanya berdampak spiritual, tetapi juga memberikan kontribusi besar terhadap kesejahteraan umat, khususnya bagi masyarakat miskin dan rentan. Tahun 2025, dengan segala dinamika ekonomi yang sedang berlangsung, akan menjadi ujian sekaligus peluang bagi umat Islam Indonesia dalam menjaga keberlanjutan ekonomi kurban sebagai pilar keadilan sosial.

Dalam konteks perekonomian nasional, kelompok kelas menengah memainkan peran penting dalam aktivitas konsumsi dan penggerak keuangan sosial, termasuk kurban. Namun, laporan terbaru menunjukkan bahwa posisi kelas menengah saat ini sedang mengalami tekanan serius. Berbagai survei sosial-ekonomi menunjukkan bahwa jumlah penduduk kelas menengah Indonesia menurun selama lima tahun berturut-turut, dari sekitar 57 juta orang pada 2019 menjadi kurang dari 48 juta orang pada 2024. Sementara itu, kelompok rentan yang berada di bawah kelas menengah meningkat tajam, menunjukkan adanya penurunan mobilitas sosial vertikal dalam masyarakat.

Tekanan ini bukan sekadar angka. Perubahan pola konsumsi rumah tangga menunjukkan bahwa masyarakat kelas menengah kini lebih fokus pada kebutuhan pokok dan mengurangi belanja nonprimer. Data pengeluaran menunjukkan bahwa proporsi konsumsi makanan meningkat dari 20,2 persen pada 2014 menjadi 22,3 persen pada 2023. Kebutuhan rumah tangga lain seperti transportasi dan komunikasi juga mengalami lonjakan, dari 11,4 persen menjadi 16,2 persen. Sebaliknya, pengeluaran untuk barang tahan lama, seperti elektronik dan perabot rumah tangga, justru mengalami penurunan drastis, dari 4,8 persen menjadi 2,9 persen pada periode yang sama. Perubahan ini mencerminkan strategi bertahan yang diambil kelas menengah dalam menghadapi tekanan ekonomi, dengan mengutamakan kebutuhan dasar dan menunda pembelian jangka panjang.

Situasi ini menimbulkan pertanyaan kritis, apakah penurunan daya beli ini akan berdampak signifikan pada partisipasi masyarakat dalam ibadah kurban tahun ini? Mengingat bahwa kelas menengah merupakan kontributor terbesar dalam pelaksanaan kurban, potensi penurunan partisipasi tentu menjadi perhatian. Namun di sisi lain, kita harus memahami bahwa keunikan umat Islam di Indonesia terletak pada tingginya komitmen spiritual dalam menjalankan ibadah, termasuk kurban. Meskipun menghadapi tekanan ekonomi, keinginan untuk tetap menunaikan kurban jarang surut. Kurban tidak hanya dipersepsi sebagai pengeluaran, melainkan sebagai kewajiban ibadah, ladang pahala, dan bahkan simbol status sosial dalam bingkai religiusitas. Oleh karena itu, walaupun secara rasional daya beli menurun, secara sosiologis dan spiritual, partisipasi dalam kurban masih memiliki daya tahan yang tinggi.

Data dari Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) melalui Policy Brief Potensi Ekonomi Kurban 2024 menyebutkan bahwa total nilai potensi ekonomi kurban tahun 2024 mencapai Rp 34,34 triliun. Angka ini berasal dari perkiraan partisipasi sekitar 2,75 juta keluarga pekurban, dengan jumlah hewan kurban mencapai lebih dari 2,3 juta ekor, terdiri dari 514 ribu ekor sapi dan 1,79 juta ekor kambing dan domba. Estimasi daging yang dihasilkan dari pelaksanaan kurban ini mencapai 195.530 ton. Jumlah tersebut sangat besar jika dihubungkan dengan pemenuhan gizi masyarakat miskin, terutama yang mengalami kekurangan asupan protein hewani.

Distribusi kurban secara strategis juga dapat membantu mengatasi masalah ketimpangan pangan. Masih terdapat 259 kabupaten dan kota yang mengalami defisit pasokan daging. Di sisi lain, kurban memiliki potensi untuk menjangkau lebih dari 48 juta rumah tangga penerima manfaat, jika diasumsikan setiap keluarga menerima 1,5 kilogram daging. Dengan manajemen distribusi yang baik, pelaksanaan kurban bisa menjadi solusi nyata dalam mengatasi kelaparan tersembunyi, malnutrisi, dan kekurangan protein yang berdampak pada stunting anak.

Melihat perkembangan positif dari tahun ke tahun, dan mempertimbangkan berbagai indikator ekonomi dan sosial, proyeksi potensi ekonomi kurban pada tahun 2025 diperkirakan mencapai Rp 38 triliun. Estimasi ini mempertimbangkan pertumbuhan nilai kurban tahunan, inflasi harga hewan ternak, peningkatan distribusi digital kurban, serta keyakinan bahwa tingkat partisipasi umat tidak akan menurun secara signifikan meskipun kelas menengah tertekan. Bahkan dalam tekanan ekonomi, umat Islam cenderung tetap berupaya menunaikan kurban, entah secara individu maupun kolektif. Ini memperlihatkan bahwa dimensi spiritual memiliki daya dorong yang kuat terhadap keberlangsungan praktik sosial-ekonomi Islam.

Di sisi lain, sebagian besar potensi ekonomi kurban saat ini masih belum terintegrasi secara optimal ke dalam sistem formal. Data BAZNAS menunjukkan bahwa lebih dari 85 persen transaksi kurban masih dilakukan secara off-balance sheet atau di luar pencatatan resmi lembaga. Pada tahun 2023, nilai penghimpunan kurban on-balance sheet hanya Rp2,03 triliun, sedangkan off-balance sheet mencapai Rp18,13 triliun. Situasi ini menyulitkan pengelolaan distribusi secara efektif dan mengurangi akuntabilitas dalam penyaluran daging kurban.

Oleh karena itu, penguatan tata kelola ekonomi kurban menjadi sangat penting. Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah memperkuat sistem data dan distribusi kurban secara digital. Dengan pemetaan berbasis teknologi, lembaga zakat dan mitra kurban bisa mengidentifikasi lokasi penyembelihan, sebaran pekurban, serta wilayah defisit daging secara lebih presisi. Sistem ini akan membantu distribusi menjadi lebih adil dan mengurangi ketimpangan antarwilayah.

Langkah kedua adalah memperluas edukasi publik tentang kurban sebagai bentuk investasi sosial. Kurban perlu dikenalkan bukan hanya sebagai kewajiban ibadah, tetapi sebagai bentuk kontribusi nyata dalam membangun ketahanan pangan dan keadilan sosial. Kampanye ini akan memperkuat motivasi spiritual sekaligus membangun kesadaran kolektif untuk berbagi dalam kerangka pembangunan umat.

Langkah ketiga adalah memperkuat pengolahan hasil kurban agar manfaatnya lebih tahan lama dan merata. Sebagian hasil daging kurban dapat diolah menjadi produk olahan seperti rendang kaleng, abon, dan kornet, yang bisa disimpan lebih lama dan didistribusikan ke wilayah-wilayah terpencil. Model ini juga mendukung ketahanan pangan nasional dan dapat menjadi bagian dari sistem logistik bantuan bencana.

Terakhir, penting bagi negara dan lembaga pengelola kurban untuk menyinergikan pelaksanaan kurban dengan program nasional seperti pengentasan kemiskinan, pengurangan stunting, dan ketahanan pangan. Kurban tidak boleh berdiri sendiri sebagai ritual tahunan yang berulang tanpa dampak struktural. Ia harus menjadi bagian dari strategi nasional untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat akar rumput secara sistemik dan berkelanjutan.

Meskipun tantangan ekonomi saat ini cukup besar, semangat umat Islam untuk tetap menunaikan ibadah kurban adalah potensi sosial dan spiritual yang tidak boleh disia-siakan. Kurban bukan hanya soal menyembelih hewan, tetapi tentang menyembelih keegoisan, menumbuhkan empati, dan mewujudkan keadilan sosial Islam secara nyata. Tahun 2025 harus menjadi momentum penting untuk memperkuat kurban sebagai instrumen pemerataan ekonomi yang bukan hanya berdampak sesaat, tapi juga berjangka panjang. Dengan niat yang lurus, sistem yang kuat, dan tata kelola yang baik, kurban bisa menjadi energi kolektif umat untuk membangun bangsa.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement