Kamis 25 Sep 2025 18:41 WIB

Berbeda dengan Trump, Xi Jinping Janjikan Pengurangan Emisi dan Pacu Transisi Energi

Untuk pertama kalinya Cina berjanji mengurangi emisi.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Presiden China Xi Jinping didampingi Presiden Rusia Vladimir Putin (kiri) dan Presiden RI Prabowo Subianto, serta Pemimpin Tertinggi Korea Utara Kim Jong-un (kanan) di Tiananmen Square, Beijing, China, Rabu (3/9/2025).
Foto: Xinhua News Agency
Presiden China Xi Jinping didampingi Presiden Rusia Vladimir Putin (kiri) dan Presiden RI Prabowo Subianto, serta Pemimpin Tertinggi Korea Utara Kim Jong-un (kanan) di Tiananmen Square, Beijing, China, Rabu (3/9/2025).

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK — Presiden Cina Xi Jinping menyatakan negaranya berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 7 hingga 10 persen dari puncak emisi pada 2035. Janji tersebut disampaikan dalam Pertemuan Iklim PBB di New York melalui konferensi video.

Xi juga mengumumkan rencana peningkatan kapasitas pembangkit listrik tenaga angin dan surya hingga enam kali lipat dari level 2020 dalam satu dekade ke depan. Target ini, menurut pemerintah Cina, diharapkan membuat pangsa energi nonfosil dalam konsumsi domestik mencapai lebih dari 30 persen.

Baca Juga

Langkah tersebut menjadi tonggak baru, karena untuk pertama kalinya Cina berjanji mengurangi emisi, bukan sekadar membatasi pertumbuhannya.

Dalam pidatonya, Xi menegaskan transformasi hijau adalah keniscayaan. “Transformasi hijau dan rendah karbon adalah tren zaman kita. Meskipun beberapa negara menentang tren ini, komunitas internasional harus tetap berada di jalur yang benar, mempertahankan keyakinan, tindakan, dan upaya yang tak tergoyahkan,” ujarnya, Rabu (24/9/2025).

Sehari sebelumnya, Presiden Amerika Serikat Donald Trump menggunakan forum Sidang Umum PBB untuk menyebut perubahan iklim sebagai “konspirasi.” Ia mengecam ilmuwan sebagai orang “bodoh” serta mengkritik Uni Eropa dan Cina karena mendorong energi bersih. Trump juga kembali menarik AS dari Perjanjian Paris.

Pengamat politik Ian Bremmer menilai sikap Trump membuat AS berisiko tertinggal dalam ekonomi energi bersih. “Membiarkan Cina menjadi satu-satunya electro-state yang kuat di dunia adalah kebalikan dari ‘membuat Amerika hebat kembali’, setidaknya jika Anda peduli pada masa depan,” kata Bremmer.

Meski begitu, sejumlah pengamat menilai target baru Cina masih jauh dari ambisi yang dibutuhkan. Direktur China Climate Hub di Asia Society Li Shuo menyebut pengumuman itu mengecewakan, mengingat pesatnya pertumbuhan energi terbarukan dan kendaraan listrik di Cina.

Kekecewaan juga disuarakan kelompok lingkungan atas lemahnya komitmen global. Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva memperingatkan, menjelang COP30 pada November, dunia akan melihat apakah para pemimpin benar-benar mengikuti sains atau justru membiarkan penyangkalan menang. Brasil sendiri menargetkan pengurangan emisi 59–67 persen pada 2035, selain memperkuat upaya memerangi deforestasi.

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyebut Perjanjian Paris telah menurunkan proyeksi kenaikan suhu global dari 4 derajat Celsius menjadi 2,6 derajat Celsius. Namun, ia mengingatkan target itu masih jauh dari ambisi menahan pemanasan hingga 1,5 derajat Celsius.

“Sekarang, kita membutuhkan rencana baru untuk tahun 2035 yang jauh lebih maju, jauh lebih cepat,” kata Guterres.

sumber : Reuters
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement