REPUBLIKA.CO.ID,
JAKARTA--Sekretaris umum Transparency International Indonesia (TII), Teten Masduki, menyatakan ada enam Undang-Undang yang dilanggar dengan pengajuan dana aspirasi yang diusulkan Partai Golkar itu. Pelanggaran tersebut mencakup UU 17/2003 tentang keuangan negara, UU 1/2004 tentang perbendaharaan negara, UU 32/2004 tentang pemerintahan daerah, UU 15/2004 tentang pemeriksaan, pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, UU 33/2004 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, serta UU no 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. "Total dana seluruhnya Rp 8,4 triliun," ujarnya.
Sementara itu, Executive Board TII, Todung Mulya Lubis, menegaskan bahwa lembaga legislatif adalah bukan pengguna anggaran atau pengelola keuangan negara. Demikian pula DPR bukan pelaksana pembangunan, tetapi pembuat kebijakan dan pengawas pelaksanaan kebijakan yang dijalankan pemerintah. Oleh karena itu, tambahnya, untuk dalih memperjuangkan kepentingan konstituen DPR hanya berwenang dan berperan dalam pembuatan kebijakan pemerintah sesuai aspirasi. "Bukan langsung mendistribusikan proyek atau anggaran kepada konstituen," katanya.
Dana aspirasi ini, tambah Todung, jelas menguntungkan politisi berkuasa untuk memperluas maupun mempertahankan basis politik. Dengan kata lain, kata dia, tindakan ini hanya aka melanggengkan pola hubungan politisi dan pemilih yang bersifat transaksional dan menyuburkan politik uang.
Alokasi dana aspirasi DPR juga dipastikan semakin menyedot uang rakyat, karena menggunakan dana APBN. Apalagi semenjak September 2009 hingga Juni 2010, telah teralokasi anggaran sebesar 10,06 triliun untuk DPR. Teten menegaskan, Alih-alih memaksimalkan fungsi representasi dalam mengagregasi aspirasi rakyat, legislator di DPR justru lebih memilih mencederai prinsip kepatutan dan rasa keadilan masyarakat.
Karena itulah, TII menyerukan agar pemerintah konsisten melakukan penolakan terhadap dana aspirasi. DPR pun, diminita memaksimalkan dungsi representasinya. Masyarakat juga diminta agar melakukan penolakan bersama. Karena potensial dikorupsi dan menjad sumber dana politik yang memboroskan anggaran negara. "Kalau begini terus, anggaran akan habis tetapi pembangunan juga tak akan terjadi karena uangnya ada di kantong dewan," katanya.