REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Produk makanan dan minuman impor legal dan ilegal yang membanjiri pasar dalam negeri setelah pelaksanaan perdagangan bebas ASEAN-China awal tahun lalu membuat industri produk serupa di tanah air terpukul. Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sofjan Wanandi, di Jakarta, Senin (23/5), pada enam bulan pertama 2010 impor produk makanan dan minuman naik sampai 70 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Kondisi itu, imbuhnya, membuat sebagian industri makanan dan minuman kehilangan sebagian pasar. Akibatnya mereka harus menurunkan produksinya.
Ia mengatakan, produksi industri biskuit nasional turun sampai 25 persen selama semester pertama tahun 2010 akibat lonjakan impor biskuit yang selama periode itu mencapai 1.100 persen.
Impor permen baik yang legal maupun ilegal, kata Sofjan, juga naik sampai 1.060 persen. "Impor barang-barang konsumsi yang lain juga meningkat tajam," ungkapnya.
Dengan kondisi macam itu, Sofjan menilai industri lama-lama tidak akan bisa bertahan. "Kalau industri makanan dan minuman yang diharap jadi tulang punggung saja tidak bisa tahan, bagaimana yang lain," katanya.
Menurut data Apindo, nilai impor makanan dan minuman per negara muat barang makanan dan minuman selama Januari-Juni 2010 total mencapai 98,83 juta dolar Amerika Serikat (AS) dengan asal negara utamanya Malaysia, China, Thailand dan Singapura. Ketua Asosiasi Industri Roti Biskuit dan Mie Instan Sribugo Suratmo menambahkan, sebagian produk makanan dan minuman impor yang beredar di pasaran tidak sah karena tidak memiliki izin edar, tidak dilengkapi label berbahasa Indonesia sesuai ketentuan dan tanda kedaluwarsa.
"Ini membuat kami tambah sulit bersaing. Apalagi di dalam negeri sendiri kami harus menghadapi banyak masalah seperti keterbatasan stok gula serta kenaikan tarif dasar listrik dan ongkos lain yang akan meningkatkan biaya produksi," katanya.
Sofjan mengatakan, industri makanan dan minuman dalam negeri akan makin sulit bersaing dengan produk makanan dan minuman impor dengan penguatan nilai dorla serta kenaikan ongkos produksi dalam negeri akibat kenaikan biaya listrik dan ongkos logistik.
Sofjan mencemaskan pelaku industri makanan dan minuman dalam negeri tidak bisa secara optimal memanfaatkan kenaikan permintaan produk makanan dan minuman menjelang Idul Fitri untuk mendapatkan keuntungan. Peningkatan permintaan akan produk makanan dan minuman, kata dia, justru dinikmati produsen makanan dan minuman dari luar negeri dan para eksportirnya.
Dia berharap pemerintah segera mengambil tindakan untuk melindungi industri makanan dan minuman dalam negeri. Pemerintah, kata dia, paling tidak harus memperketat pendaftaran produk makanan dan minuman impor serta menegakkan pelaksanaan ketentuan tentang pelabelan produk makanan kemasan.
"Registrasi bagi produk makanan dan minuman dalam negeri harus disederhanakan dan dipermudah. Jangan malah registrasi impor dipermudah tapi registrasi produk dalam negeri dipersulit seperti sekarang," katanya.
Sementara, Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Chris Kanter, mengatakan pemerintah sebaiknya juga menetapkan kuota impor produk makanan dan minuman impor spesifik yang dibutuhkan komunitas asing di dalam negeri demi membatasi impor makanan dan minuman. "Kebijakan seperti ini tidak bisa diumumkan tapi harus diterapkan, negara-negara lain melakukannya untuk melindungi industri dalam negeri mereka," katanya.