REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Mantan Menteri Kehutanan MS Kaban mengelak dugaan adanya aliran dana yang masuk kantong pribadinya dari PT Masaro Radiokom sebagai pelaksana proyek dalam proyek sistem komunikasi radio telekomunikasi. Setelah diperiksa hampir empat jam, Kaban keluar pukul 13.15 WIB.
"Saya mengatakan proses ini normal. Itu saja keterangannya. Saya nggak tahu soal aliran dana itu karena itu di luar," jelas Kaban usai pemeriksaan, Senin (25/10). Dari sisi pengadaan, nilainya, prosesnya berjalan normal. Ketua Umum Partai Bulan Bintang ini juga menjelaskan jika antara Departemen Kehutanan dan DPR tidak pernah ada kesepakatan.
Begitu pula tidak pernah ada koordinasi tentang pemenang pelaksana proyek SKRT. "Semua tergantung situasi dan perkembangannya. Yang jelas waktu itu kita membutuhkan perbaikan dan pengadaan itu," ujar Kaban.
Terkait mekanisme penunjukan langsung, Kaban merujuk Keppres Nomor 80 Tahun 2003. Namun, ia mempunyai argumen khusus. "Masing-masing punya argumen. Itu kan menyangkut merek, tergantung spesifikasi nya juga," imbuh Kaban.
Masalah pengadaan SKRT ini sudah dihentikan ketika kepemimpinan Menteri M Prakoso, namun Menteri MS Kaban kemudian melanjutkan proyek ini. Alasannya, SKRT itu merupakan satu-satunya alat yang bisa digunakan untuk komunikasi Dephut dengan taman nasional dan Unit Pelayanan Terpadu di daerah dengan nilai anggaran Rp 900 triliun lebih.
Sementara keterlibatan Anggoro Widjojo sebelumnya diketahui dalam persidangan kasus suap proyek Tanjung Api-api dengan terdakwa Yusuf Erwin Faishal. Dalam persidangan, Yusuf Erwin didakwa telah menerima uang Rp 125 juta dan US$ 220 ribu. Uang tersebut sebagai imbalan atas membantu persetujuan anggaran pada program revitalisasi gerakan nasional rehabilitasi hutan dan lahan.
Proyek SKRT ini bermula pada Januari 2007 saat Departemen Kehutanan mengajukan usulan rancangan program revitalisasi rehabilitasi hutan. Departemen yang dipimpin Malam Sambat Kaban itu mengajukan anggaran Rp 180 miliar. Padahal, proyek ini sudah dihentikan pada 2004 pada masa Menteri Kehutanan, M Prakoso.
Anggoro diduga telah mempengaruhi anggota Komisi Kehutanan DPR untuk melanjutkan proyek tersebut. Kemudian, Komisi Kehutanan yang dipimpin Yusuf Erwin Faishal mengeluarkan surat rekomendasi pada 12 Februari 2007. Surat rekomendasi itu juga ditandatangani oleh Hilman Indra dan Fachri Andi Leluasa.
Mengetahui adanya usulan itu, Yusuf Erwin meminta Muchtarrudin melakukan pertemuan dengan perwakilan PT Masaro Radiocom, Anggoro Wijoyo sebagai rekanan pengadaan alat komunikasi. Pertemuan itu, guna membicarakan fee yang akan diberikan PT Masaro kepada komisi kehutanan.
Dalam surat itu, disebutkan meminta Departemen Kehutanan meneruskan proyek SKRT. Disebutkan pula bahwa untuk pengadaan itu sebaiknya menggunakan alat yang disediakan PT Masaro. Pada 16 Juni 2007 anggaran disetujui. Lembar pengesahan, ditandatangani juga oleh Menteri Kehutanan MS Kaban. Orang nomor satu di Departemen
Kehutanan itu juga sudah diperiksa KPK. Selain memberikan uang kepada Yusuf Erwin, Anggoro juga diduga telah membagikan uang kapada sejumlah anggota Komisi Kehutanan lainnya seperti Fahri Andi Leluasa senilai US $ 30 ribu, Azwar Chesputera US $ 30 ribu Hilman Indra US $ 140 ribu, Muctarrudin US $ 40 ribu dan Sujud Sirajuddin Rp 20 juta.
PT Masaro Radiokom adalah perusahaan yang menjadi rekanan Dephut dalam pengadaan SKRT. Kasus dugaan korupsi ini terungkap saat KPK menggeledah kantor Yusuf Erwin di Gedung PT Masaro pada Juli 2008, terkait kasus suap proyek Tanjung Api-api. Proyek senilai Rp 180 miliar ini diduga telah merugikan negara Rp 13 miliar.
Dalam kasus ini, KPK sudah menetapkan Anggoro sebagai tersangka. Anggoro ditetapkan sebagai tersangka sejak 19 Juni 2009. Anggoro diduga melanggar ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) atau Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun saat ini Anggoro buron.