REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA--Regulasi penyiaran sebetulnya sudah mengatur tentang pemberitaan bencana alam. Namun kenyataannya regulasi penyiaran tak berdaya dan tak tegas melawan derasnya eksploitasi pemberitaan tentang bencana alam, khususnya bencana erupsi Merapi.
"Pemberitaan bencana erupsi Merapi dalam kenyataannya masih banyak menayangkan gambar-gambar menakutkan tentang awan panas, luapan lahar dingin bahkan sampai mengekspos korban, jenazah yang terpanggang api, bahkan jasad hewan yang terpanggang yang menimbulkan kengerian tersendiri. Hal itu telah menjadi pemberitaan media televisi," ungkap Relawan
Yogya Tanggap Cepat yang juga anggota KPID (Komisi Penyiaran Indonesia Daerah) DIY Teguh Ariffianto dalam acara Diskusi tentang Pemberitaan Bencana Melalui Media Penyiaran,'' di Auditorium KPID DIY, Rabu (15/12).
Bahkan, dia menambahkan, semua media berusaha memberi laporan terbaru tentang bencana alam dan berusaha mendapatkan gambar-gambar dramatik yang akhirnya justru menimbulkan efek yang tidak disadari oleh mereka sendiri. Kerugian material dan imaterial tidak hanya dialami oleh korban bencana secara langsung, namun impacnya juga dirasakan oleh sebagian masyarakat di sektor lainnya.
Teguh memberi contoh di salah satu Hotel Berbintang di Yogyakarta yang berkapasitas 600 kamar, setelah adanya pemberitaan erupsi Merapi tanggal 4-8 November lalu, maka selama dua minggu berikutnya hanya ada enam tamu. Di samping itu acara event-event internasional di hotel tersebut dibatalkan.
"Dari random sampling yang kami lakukan di 10 kampus/perguruan tinggi di Yogyakarta, sekitar 70 persen mahasiswa dimobilisasi oleh orangtuanya untuk pulang karena khawatir, cemas bila anaknya berada di Yogyakarta, karena adanya pemberitaan di televisi," ungkap dia.
Menurut Teguh, hal itu merupakan bencana sosial kedua. Karena regulasi tidak berdaya melawan derasnya eksploitasi pemberitaan tentang bencana alam, akibatnya merugikan masyarakat Yogyakarta umumnya. Bahkan bencana alam menjadi komoditi besar kemanusiaan.