Ahad 09 Jan 2011 18:56 WIB

Jelang Referendum, Militer Sudan Selatan Bunuh Enam Gerilyawan

Para delegasi PBB, termasuk Dubes AS untuk PBB, Susan Rice (tengah) saat berkunjung ke Sudan selatan.
Foto: ap
Para delegasi PBB, termasuk Dubes AS untuk PBB, Susan Rice (tengah) saat berkunjung ke Sudan selatan.

REPUBLIKA.CO.ID,SUDAN - Tentara Sudan Selatan telah membunuh enam anggota milisi pembelot dalam dua hari bentrokan di sebuah negara bagian penting di perbatasan dengan utara menjelang referendum kemerdekaan.

"Ada serangan kemarin (Jumat). Dua gerilyawan tewas dan 20 tertangkap," kata jurubicara militer selatan Philip Aquer. "Dalam serangan lainnya pagi ini, empat gerilyawan tewas dan enam tertangkap," Aquer menambahkan.

Tidak ada korban di antara Tentara Pembebasan Rakyat Sudan (SPLA), bekas pasukan keamanan gerilyawan.''

Aquer menyatakan semua bentrokan terjadi di daerah Mayom, tapi sumber PBB mengatakan pertempuran mungkin telah meluas ke tiga wilayah di negara bagian Unity. Itu adalah lokasi beberapa ladang minyak penting selatan, yang merupakan salah satu penyebab konflik dalam perang saudara 1983-2005 yang merusak dengan utara.

Sumber PBB mengkonfirmasi bahwa satu konvoi pangan yang menuju ke wilayah itu telah dipaksa kembali dan mengatakan bahwa satu unit penjaga perdamaian telah dikirim ke wilayah itu untuk menyelidiki.

Sumber PBB dan SPLA menyatakan serangan itu mungkin merupakan pekerjaan para pendukung setia Gatluak Gai, seorang komandan milisi pembelot yang menolak tawaran amnesti dari pemerintah selatan dan yang pasukannya aktif di wilayah itu.

Pasukannya adalah satu-satunya pasukan bersenjata besar Sudan yang masih berperang dengan kepemimpinan selatan setelah perwira senior militar selatan yang berkhianat George Athor menandatangani "gencatan senjata" permanen Rabu.

Semula Tentara Perlawanan Tuhan (LRA) yang bermarkas di Uganda tetap aktif dan ditakuti secara luas di negara bagian West Equatoria di perbatasan dengan Republik Demokratik Kongo dan Republik Afrika Tengah.

Perjanjan dengan Athor, yang mengangkat senjata setelah ia mengklaim telah ditipu dalam pemilihan untuk jabatan gubernur negara bagian Jonglei, disambut baik sebagai langkah ke arah peredaan ketegangan sebelum referendum kemerdekaan.

Baru Kamis lalu, kepala misi penjaga perdamaian PBB untuk Sudan selatan, David Gressly, memuji apa yang ia katakan periode paling tenang sejak perjanjian perdamaian 2005 menjelang referendum sepekan lamanya yang akan dimulai Ahad. "Itu lingkungan yang sangat kondusif bagi pendaftaran, dan kami mengharapkan keadaan yang sama berlanjut pada saat pemilihan," ia mengatakan kemudian.

sumber : antara/afp
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement