Senin 17 Jan 2011 00:38 WIB

Pembuktian Terbalik

Rep: Yusuf Assidiq/ Red: Siwi Tri Puji B
Pengadilan Tipikor, ilustrasi
Pengadilan Tipikor, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Tak hentinya masyara kat dibuat kecewa oleh karut-marutnya aspek penegakan hukum. Kasus terkini adalah `pelesiran' orang mirip Gayus Tambunan ke sejumlah negara.

Meski berstatus tahanan dan sedang menjalani proses persidangan, mantan pegawai Ditjen Pajak itu leluasa bepergian ke luar negeri, setelah ke Bali.

Masyarakat pun bereaksi keras dengan terungkapnya skandal ini. Para pengamat menilai, kasus tersebut merupakan tamparan bagi penegak hukum. Di sisi lain, hal tersebut menegaskan bahwa perlu kerja keras luar biasa untuk sampai pada perwujudan cita-cita menjadikan hukum sebagai panglima.

Indonesia masih berkutat dengan aneka masalah sosial. Mulai dari korupsi, ketidakadilan, kriminalitas, pornografi, dan banyak lagi. Tidak ada cara lain untuk menuntaskannya, selain harus menegakkan hukum secara adil dan tegas. Para ulama turut memberikan perhatian serius.

Sebab, tegaknya hukum sangat terkait sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Sebagai kelompok terbesar, umat Islam juga punya tanggung jawab berpartisipasi menghadirkan ketertiban dan ketenteraman. Terkait hal ini, Musyawarah Nasional VIII Majelis Ulama Indoensia (MUI) pada Juli 2010 lalu juga membahas penegakan hukum.

Hal utama yang menjadi sorotan MUI soal penegakan hukum adalah tindak pidana korupsi. MUI mengaku prihatin praktik korupsi masih marak terjadi. Lembaga ini menilai, perlu ditempuh langkah terobosan dalam menegakkan hukum agar efektif menangani masalah tersebut.

Maka itu, dalam salah satu fatwa hasil keputusan musyawarah itu, MUI memandang sudah saatnya negara ini menerapkan asas pembuktian terbalik. Menurut fatwa ini, pada kasus hukum tertentu, seperti penguasaan kekayaan seseorang yang diduga tidak sah, dimungkinkan penerapan asas pembuktian terbalik.

Hal ini jika ditemukan indikasi atau amarat al-hukm tindak pidana sehingga pembuktian atas ketidakbenaran tuduhan dibebankan kepada terdakwa. MUI memandang, pada dasarnya, seseorang terbebas dari dakwaan perbuatan salah sampai adanya pengakuan atau bukti-bukti lain yang menunjukkan orang itu memang bersalah.

Dengan demikian, fikih Islam menganut asas praduga tak bersalah dalam hukum. "Kewajiban pembuktian dibebankan kepada penyidik dan penuntut, sedangkan sumpah bagi orang yang mengingkarinya," demikian fatwa MUI. Dengan pertimbangan ini, MUI mengusulkan revisi terhadap beberapa ketentuan perundang-undangan.

Kebijakan itu dianggap penting demi tegaknya kemaslahatan umum dan mencegah maraknya tindak pidana akibat kesulitan pembuktian material. Para penegak hukum diharapkan dapat menangani dan mengadili perkara korupsi sekalipun hanya dengan menggunakan pendekatan pembuktian terbalik.

Kalangan Nahdlatul Ulama mendukung penuh penindakan terhadap pelaku korupsi atau para pelanggar hukum lainnya. Pada salah satu fatwa yang dihasilkan dalam Munas NU tanggal 17-20 November 1997 disebutkan, merupakan kewajiban rakyat, melalui wakil-wakilnya, khususnya para ulama untuk melakukan pengawasan sosial.

Jangan sampai timbul penyelewengan atau berbagai pola penyalahgunaan hukum, yang merugikan rakyat dan melawan tuntunan kemaslahatan serta keadilan bersama. NU meminta kepada pemerintah agar terus berupaya melakukan pemberdayaan dan perlindung an hak-hak rakyat yang lemah.

Dasarnya adalah surah An-Nisa ayat 58, "Sesungguhnya Allah menyuruh kalian untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak dan apabila kalian memerintah maka memerintahlah berdasarkan dengan keadilan."

Wewenang pemerintah Ulama berpengaruh, Syekh Sholih bin Fauzan bin Abdillah al Fauzan, turut memberi arahan dan fatwa.

Menurut dia, kondisi aman dan damai, ataupun hadirnya kesejahteraan, hanya diperoleh apabila hukum benar-benar ditegakkan. Namun, tokoh yang pernah menjadi anggota Komite Fiqh Rabithah Alam Islamy, Makkah, itu mengingatkan, kewenangan menegakkan hukum berada di tangan pemerintah. Bukan hak setiap orang melakukannya.

Jika orang per orang dapat ikut campur dalam proses penegakan hukum, Syekh Sholih khawatir tindakan tersebut menimbulkan kekacauan, kerusakan, perpecahan, mengobarkan api balas dendam, fitnah, dan malapetaka. Ia menyampaikan hadis Rasulullah, memperkuat pandangannya.

"Saling memaafkanlah di antara kalian dalam hal hukuman pidana, karena jika (masalah yang mengakibatkan) hukuman pidana telah sampai (diangkat) ke pemerintah, laknat Allah bagi orang yang meminta keringanan dan yang diberi keringanan," demikian hadis yang diriwayatkan oleh AnNasa'i.

Syekh Sholih juga menegaskan, penegakan hukum merupakan tugas dan wewenang pemerintah. Hal itu bahkan tertera dalam ajaran Islam. Namun, tidak boleh menerapkan hukuman secara semena-mena. Setelah terbukti secara syar'i di pengadilan syariat, barulah pelaku tindak pidana dapat dijatuhi hukuman sesuai ketentuan yang berlaku.

Pendeknya, menjadi tugas dan wewenang pemerintah untuk menegakkan hukum. Namun, apabila kaum Muslim tidak mempunyai pemerintah (yang menerapkan hukum syariat), sambung dia, cukup dengan beramar ma'ruf dan nahi mungkar serta berdakwah kepada jalan Allah SWT, serta membina dialog yang kondusif.

Ia mengatakan, sangat tidak dibenarkan bagi individu-individu untuk bertindak main hakim sendiri sebab bisa mendatangkan masalah yang lebih besar.

Padahal, papar Syekh Sholih, di antara kaidah syariat yang disepakati kalangan ulama, adalah mencegah kerusakan lebih didahulukan daripada mendatangkan kemaslahatan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement