REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Komisi Yuridisial (KY) akan mengawasi hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat dalam mengeksekusi putusan Mahkamah Agung yang memerintahkan Kementerian Kesehatan, dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Insititut Pertanian Bogor (IPB) untuk mengumumkan merek susu formula yang tercema bakteri Sakazaki. Para hakim di pengadilan tersebut diminta untuk tidak takut jika ketiga lembaga negara itu melawan mereka.
"Kita mendorong hakim untuk bertindak prosefsional memastikan putusan itu ditaati oleh mereka," ujar Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi, Suparman Marzuki saat menerima pengaduan dari pengacara publik, David L Tobing yang meminta KY mendesak pemerintah untuk patuhi putusan MA di Kantor KY, Jakarta, Selasa (22/2).
Suparman mengatakan, sejauh ini pihaknya masih percaya dengan profesionalitas hakim untuk mengeksekusi putusan MA itu. Karena, hakim tersebut juga mendapat dukungan dari MA. "MA juga mengawal putusannya kan, jadi mereka ada di belakang para hakim yang akan mengeksekusi putusan MA," ujarnya.
Pengacara public pro konsumen sekaligus penggugaat ketiga lembaga negara tersebut David Tobing mengatakan, ia sudah mendatangi Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat untuk menemui Ketua PN Syahrizal Sidik. David mengatakan bahwa Ketua PN sudah mendapat salinan putusan kasasi dari Mahkamah Agung (MA).
"Makanya, kedatangan saya ke KY adalah untuk memohon supaya lembaga pengawas ini mengawal eksekusi putusan MA yang akan dilakukan oleh hakim PN Jakarta Pusat sebagai tempat awal perkara ini," ujarnya.
David mengatakan, putusan MA kepada ketiga lembaga negara itu sifatnya adalah memerintahkan. Artinya, MA memerintahkan mereka untuk mempublikasikan hasil merek susu formula yang mengandung bakteri sakazaki. David khawatir, jika dalam pengeksekusian ini tidak dikawal KY, ia khawatir hakim di PN Jakarta Pusat itu tidak berani melakukannya. Sehingga, putusan itu tidak bisa dijalankan sepenuhnya.
"Apalagi sekarang ada kabar bahwa mereka akan mengajukan PK (Peninjauan Kembali) atas putusan itu," ujarnya.
Menurutnya, jika mereka tidak mau mematuhi putusan itu, dia tak akan segan-segan mempidanakan mereka ke polisi. Karena, David menuding sikap mereka telah merugikan masyarakat. David juga bisa memperkarakan mereka dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Pasal 52 dalam UU tersebut menyebutkan bahwa siapa yang menghambat diberikannya informasi publik bisa terkena sanksi pidana. "Apalagi ini ada bakteri berbahaya di dalam susu formula itu," ujarnya.
Seperti diketahui, persoalan susu berbakteri ini bermula ketika ketika para peneliti IPB menemukan adanya kontaminasi Enterobacter Sakazakii sebesar 22,73 persen dari 22 sampel susu formula yang beredar pada 2003 hingga 2006. Hasil riset itu dilansir pada Februari 2008. Atas penelitian itu, masyarakat pengguna susu formula membawa masalah ini ke ranah hukum supaya IPB, BPOM, dan Kementerian Kesehatan mengumumkan merek susu yang tercemar bakteri.
Proses hukum itu membuat Mahkamah Agung (MA) memutuskan dan memerintahkan IPB, BPOM, dan Kementerian Kesehatan untuk memberikan nama-nama susu formula yang tercemar bakteri tersebut. Namun, mereka menolak mengumumkannya kepada masyarakat.