REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Suasana kota industri itu sunyi tanpa kehidupan. Jembatan besi tua yang melintang di atas rel kereta tampak menghitam akibat sisa kebakaran. Di sebuah bekas sekolah di sudut kota, terpampang papan bertuliskan 'Chernobyl'. Pemandangan dari tayangan Discovery Channel itu membangkitkan memori Alexander Yuvchenko akan kejadian 25 tahun lampau.
Sejak pindah ke Kota Chernobyl, Ukraina, pada awal 1980, Yuvchenko sempat menikmati betul kariernya sebagai insinyur ahli di pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Chernobyl. ''Saya memilih bekerja di Chernobyl karena merupakan stasiun nuklir terbaik di Uni Soviet. Dan Chernobyl adalah sebuah kota yang baik untuk ditinggali,'' kata Yuvchenko.
Semua itu berubah di malam 26 April 1986. Ketika itu, para insinyur PLTN Chernobyl sedang menjalankan tes pada reaktor nomor 4 untuk menguji seberapa lama turbin uap masih mampu berputar dan generator menyuplai daya ketika reaktor dimatikan.
PLTN itu mempunyai empat reaktor air ringan tipe RBMK-1000 dengan total daya 4.000 megawatt. Reaktor 4 yang sedang diuji sudah memasuki masa pemeliharaan dan pergantian bahan bakar nuklir. ''Saat itu Aku shift malam. Ketika aku muncul, aku mendapati bahwa uji keselamatan ditunda sampai larut malam,'' tutur Yuvchenko.
Saat hari beranjak larut, reaktor 4 mulai dimatikan. Yuvchenko ketika itu bertugas memonitor pendinginan reaktor, pekerjaan yang menurutnya sangat mudah. ''Aku berpikir bahwa tidak akan banyak yang harus dilakukan malam itu. Aku memutuskan merapikan tas untuk pulang.''
Namun, sebuah suara keras terdengar dari dalam reaktor nomor 4. ''Pertama adalah suara gemuruh. Dua detik kemudian langsung terjadi ledakan keras. Pintu kantor saya langsung terhempas keras disertai abu yang tertiup kencang,'' tukasnya.
Ledakan itu datang dari tekanan uap ekstra tinggi air di tabung reaktor 4. Bahan bakar reaktor secara tak terkendali menghasilkan daya sampai 30 gigawatt atau 10 kali lipat kemampuan normalnya akibat kesalahan perhitungan operator yang menarik seluruh batang grafit pengendali reaksi fisi nuklir. Elemen bahan bakar nulir pecah dan tabung reaktor hancur lebur. Batang grafit yang membara menyulut kebakaran.
Yuvchenko bergegas keluar. Asap dan uap membubung tinggi dari reaktor 4. Udara berubah menjadi sangat lembab dan berdebu. Perubahan dramatis terjadi di atmosfer sekitar Chernobyl. ''Seperti kiamat. Banyak benda berjatuhan dari udara. Sisanya terbakar. Lampu dimatikan. Pikiran pertama kami adalah untuk menemukan tempat yang aman untuk bersembunyi,'' katanya
Dia beserta ratusan pekerja serta warga sekitar PLTN menuju ke koridor terminal kereta yang mempunyai sebuah ruangan kecil tertutup atap rendah. ''Kami berdiri di sana dan semuanya jatuh di sekitar kita. Orang-orang berteriak. Satu demi satu mati,'' ujarnya. Saat itulah Yuvchenko berpikir tentang kedahsyatan radiasi nuklir.
Hancurnya bangunan pelindung reaktor membuat semua gas xenon, separuh gas yodium 131 dan cesium 137, serta lima persen material radioaktif lainnya bocor. Diperkirakan, bahan radioaktif yang terlepas 100 kali lipat dari bom atom Hiroshima dan Nagasaki. Sebagian besar bahan radioaktif menghujani bumi Chernobyl. Bahan yang lebih ringan terbawa sampai Belarusia, Rusia, bahkan sampai ke wilayah Skandinavia.
Menurut data resmi Forum Chernobyl yang terdiri dari badan PBB seperti IAEA, WHO, UNDP, FAO, Bank Dunia, Pemerintah Rusia, Belarusia, dan Ukraina, ledakan itu menewaskan dua operator reaktor, disusul meninggalnya 28 orang lagi dalam kurun tiga bulan yang umumnya petugas pemadam kebakaran dan pekerja radiasi. Kemudian, 19 orang meninggal dalam rentang waktu 1986-2004.
Bencana nuklir terburuk yang masuk dalam peringkat tujuh dalam skala kejadian nuklir internasional (INES) itu masih memakan korban lain. Sedikitnya ada 4.000 laporan kasus kanker kelenjar tiroid dalam rentang waktu 1992-2002. Dari angka itu, 15 orang meninggal.
Yuvchenko beruntung selamat sehingga bisa mengkisahkan kejadian itu kepada stasiun berita New Scientist. Namun, radiasi Chernobyl memberinya warisan bisul-bisul yang masih sering tumbuh dan memberi rasa sakit pada kulitnya. Entah itu kanker atau penyakit akibat mutasi sel akibat tubuh terpapar radiasi.
Dampak ini pula yang ditakuti oleh warga Jepang dari insiden ledakan yang menimpa PLTN Fukushima 1 Daiichi di Prefektur Fukushima, sepanjang pekan ini. Namun, Humas Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) Ferhat Azis meyakini insiden Fukushima tak akan berujung seperti Chernobyl karena kondisi keduanya sangat berbeda.
''Banyak perbedaan antara Chernobyl dan Fukushima. Di Chernobyl, reaktor tidak memiliki halangan saat meledak. Di Fukushima ada sistem pengaman berlapis. Selain itu, ledakan terjadi di lantai dua gedung, bukan lantai satu tempat pusat reaktor nuklir,'' kata doktor teknik nuklir lulusan Tokyo Intitute of Technology ini.
Sejumlah ahli nuklir dunia juga yakin Fukushima tak akan bernasib seperti Chernobyl.
Namun, keyakinan itu ternyata tak menular pada warga Jepang. Warga sekitar Fukushima, bahkan Tokyo, semakin ramai berbondong keluar Pulau Honshu untuk menghindari dampak radiasi nuklir. Padahal Pemerintah Jepang menjamin zona aman di luar radius 80 kilometer dari PLTN Fukushima.
Insiden Fukushima telah membuat Eropa mengkaji kembali penambahan PLTN di kawasan itu. Bahkan Pemerintah Jerman akan menutup 10 PLTN tua. Namun, bencana Chernobyl tak membuat Ukraina meninggalkan energi nuklir. Hingga kini, negeri pecahan Soviet itu masih tetap mengoperasikan 15 PLTN.
Belum jelas bagaimana sikap Jepang yang mengandalkan 26 persen pasokan listriknya dari 53 PLTN. Angka itu bakal minus satu yaitu PLTN Fukushima Daiichi yang tampaknya tak bakal dioperasikan lagi setelah enam reaktornya secara sengaja dialiri air laut guna mendinginkan bara nuklirnya. ed: rahmad budi harto