REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Anggota DPR RI, Nurhayati Ali Assegaf, mengemukakan, Pemerintah Indonesia perlu segera merespon persetujuan kerja sama penempatan TKI yang telah disampaikan Pemerintah Kuwait.
"Kita ke Kuwait untuk membicarakan masalah tenaga kerja kedua negara," katanya kepada pers di Gedung DPR/MPR Jakarta, Senin (21/3), menjelaskan kunjungannya ke Kuwait beberapa hari lalu.
Sebelum melakukan kunjungan ke Kuwait, dia mendapat informasi dari Pemerintah Indonesia, yakni Kementerian Tenaga Kerja, bahwa Kuwait belum mau menandatangani MoU. "Kita percaya dengan apa yang disampaikan oleh Kemenakertrans," katanya.
Karena itu, delegasi DPR RI saat berkunjung ke negara itu menanyakan mengenai sikap Kuwait belum menandatangani MoU sebagaimana yang disampaikan Kemenakertrans.
"Malah mereka menanyakan balik bahwa mereka sudah mengirim 'agreement' kepada Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Indonesia belum mengembalikan, belum respon 'agreement' itu," katanya. Menurut dia, informasi tersebut disampaikan Ketua Komisi Tenaga Kerja Parlemen Kuwait Rolla Deshti.
"Kita gak tahu kenapa 'agreement' itu belum direspon juga. Saya sangat kecewa, malu bahwa mereka telah mengirim dan belum direspon oleh kita," kata anggota Komisi I dari Fraksi Partai Demokrat itu.
Menurut dia, justru mereka menunggu jawaban dari Pemerintah Indonesia. Mereka bilang sudah mengirimkan 'agreement' tapi belum ada tanggapan.
"Ini yang tidak pernah kita tahu. Padahal 'agreement' itu lebih tinggi tingkatannya dibanding MoU. Kita sangat sesalkan lambannya pemerintah merespon persetujuan dari Pemerintah Kuwait itu," katanya.
Menurut Wakil Ketua BKSAP DPR RI ini, pihaknya juga melontarkan bahwa Indonesia akan mengirimkan tenaga kerja formal dan Kuwait sangat menyambut baik dengan usulan tersebut dan mereka terbuka.
"Mereka bilang lebih mudah kalau Indonesia mengirim tenaga kerja formal dibanding informal karena UU-nya sudah ada, kalau informal itu tidak ada UU-nya dan harus dibuat UU," katanya.
Dia mengatakan, kalau TKI dikirim secara formal, lapangan kerjanya lebih banyak, gajinya juga lebih tinggi dan dengan senang hati mereka sambut baik.
"Saya ingin mengubah pengiriman TKI kita dari informal ke formal karena bermartabat. Sebagai contoh, Ketua Komisi Tenaga Kerja Parlemen Kuwait sendiri memiliki pembantu orang Indonesia, sehari bekerja, minta pulang. Ini 'kan karena pendidikan dan TKI itu informal," katanya.
Karena itu, dia mendesak pemerintah untuk respon agreement yang telah dikirim. "Kita juga mendesak pemerintah untuk mengirim tenaga kerja formal," katanya. "Kita akan minta penjelasan kepada pemerintah kenapa lamban merespon hal tersebut."