Rabu 23 Mar 2011 07:57 WIB

Dai-Dai di Pedalaman, Bertahan karena Rasa Ikhlas

Rep: Damanhuri Zuhri dan Rosyid Nurul Hakiem/ Red: Siwi Tri Puji B
Dai Fadlan Garamatan di antara Muslim Papua
Foto: muslimpapua.com
Dai Fadlan Garamatan di antara Muslim Papua

REPUBLIKA.CO.ID, Ahmad Nursoleh berjuang melawan dirinya sendiri. Kebimbangan masuk ke dalam dirinya sebelum akhirnya ia mantap berdakwah di pedalaman. Dai asal Blitar, Jawa Timur, ini melihat teman-teman kampusnya dan teman seumurannya menjalani pekerjaan mapan dengan bekerja kantoran atau mengajar di kampus.

 

Secara materi, kata dia, jelas mereka lebih mapan.  Ia ingin seperti mereka. Namun, ia kemudian sadar bahwa tujuan hidupnya tak berhenti pada persoalan materi. Dia ingin menjadi seorang yang berguna bagi masyarakat di sekitarnya. Berdakwah di daerah pedalaman atau terpencil ia yakini mampu mewujudkan tujuan mulianya itu.

"Justru karena kita di tempat terpencil , kita merasakan bisa berkarya, bisa berguna untuk masyarakat," ujar lelaki berusia 29 tahun ini, Selasa (15/3). Bagaimana dai harus menyadari keperluan dan mampu memberikan pencerahan, serta memberikan solusi dari masalah yang dihadapi masyarakat di tempatnya berdakwah.

Hal seperti inilah yang sebenarnya menjadi kebahagiaan baginya, selain suasana akrab masyarakat kampung. Usai berdamai dengan dirinya sendiri, ia harus pula meyakinkan keluarganya. Ia memberikan pengertian pada istri dan dua orang anaknya. Menurut dia, justru keluarga inilah yang menjadi tempatnya latihan berdakwah dengan baik.

Dai dari Hidayatullah ini beralasan, bagaimana mungkin seorang dai akan mampu memberikan pencerahan kepada masyarakat jika keluarganya berantakan. Salah satu cara untuk  memberikan pengertian adalah dengan melibatkan sang istri dalam setiap kegiatan dakwahnya. "Ternyata ini menuai hasil."

Hingga saat ini, sudah setahun lebih Nursoleh dan istrinya berdakwah di Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat. Sebuah daerah pelosok yang ditempuh dalam waktu satu jam dari Kota Bogor, dengan sepeda motor. Di daerah itu, bersama, kawan-kawannya sesama dai, dia mendirikan rumah untuk anak yatim piatu. Sudah ada 30 anak yang tinggal di sana.

Rasa bimbang juga pernah melanda diri Muhammad Ali Akbar ketika akan berdakwah di pedalaman Irian pada 2007 silam. Pada akhirnya, Ali yang lahir pada 2 Agustus 1989 itu, berbulat hati menjalani dakwah bersama Al Fatih Kaaffah Nusantara (AFKN) pimpinan Fadhlan al-Garamatan, di pedalaman. Saat itu, usianya baru 18 tahun.

Ia mengungkapkan, semula keluarga menentang keputusannya. Namun, seiring berlalunya waktu dan penjelasan ia sampaikan kepada mereka, keadaan kini berbalik. Mereka mendukung penuh jalan yang ia tempuh. "Dengan dakwah ini, saya berharap bisa bersama mengingatkan diri dan saudara saya untuk mengingat Allah."

Menurut dia, berbeda dengan di kota, dakwah di pedalaman banyak tantangan yang harus dihadapi. Hal paling berat adalah medan dakwah. Dai harus mampu menyesuaikan diri dengan kondisi masyarakat di sana.  Jika tak membawa keikhlasan maka dakwah seorang dai tak akan sanggup berada di pedalaman.

"Jangan pernah pula menanyakan soal amplop tapi tanyakan pada diri kita sendiri sudahkah kita memberi dengan ikhlas apa yang kita miliki kepada mereka," kata Ali Akbar. Ia berharap, melalui dakwah yang dijalankannya kelak membantu masyarakat untuk menunaikan ajaran Islam dengan baik.

Tegar

Sejak kecil, Muhammad Adam Tahir merasa dibesarkan dengan sistem pengajaran Hidayatullah, ormas Islam yang selama ini berkecimpung dalam dakwah. Ilmu yang ia peroleh membuatnya tegar ketika harus ditempatkan di pedalaman setelah menuntaskan pendidikan aliyah, setingkat SMA.

Diakui, memang bukan hal mudah meninggalkan kampung halamannya. Apalagi lelaki kelahiran Sulawesi Selatan ini adalah anak bungsu di keluarganya. Wajar jika kemudian larangan muncul dari orang tuanya. Namun, karena keteguhan hatinya, Adam tetap memutuskan untuk pergi.

Pulau Sipora, Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat, adalah tempatnya berdakwah saat ini. Sudah sejak 2000 dia mengajarkan nilai-nilai Islam di pondok pesantren yang sebagian besar dihuni oleh anak-anak, di Pulau Sipora itu. Pada awal keberangkatannya ke Pulau Sipora, ia hanya membekal uang sebesar Rp 300 ribu untuk menuju Jakarta.

Saat merogoh kantong, Adam melihat uangnya hanya tersisa Rp 120.000, di Jakarta dia hanya sendiri, tanpa pemandu. Dengan uang seadanya dia melanjutkan perjalanan ke Padang dengan menggunakan dua bus. Karena uang yang terbatas, perjalanan selama dua hari satu malam itu, Adam hanya ditemani sebotol air mineral dan sebungkus biskuit.

 "Sampai di Padang, badan saya bergetar semua karena belum masuk nasi," kenang  Adam yang kini berusia 35 tahun. Ketika sampai di Pulau Sipora, umur Adam masih sekitar 25 tahun. Transportasi adalah kendala paling besar di daerah itu. Perahu adalah transportasi yang paling memungkinkan untuk daerah kepulauan.

Ombak dan arus deras tentunya menjadi perhitungan. Tahun-tahun pertama hidup di daerah terpencil memang tidak mudah. Selain karena dalam proses adaptasi, pada awal tahun 2000-an  transportasi dan alat telekomunikasi seperti telepon genggam masih menjadi barang sangat mewah.

Untuk mengetahui ada tidaknya kiriman bahan makanan dari Padang, Adam dan anak-anak didiknya harus selalu memasang telinga lebar-lebar. Suara gemuruh kapal menjadi tanda yang paling ditunggu-tunggu. Namun, perjuangan mereka belum usai. Jika tidak ada mobil, mereka harus berjalan kaki sejauh delapan kilometer untuk menjemput kapal itu.

Seringkali, ketika sampai di dermaga, ternyata kapal tersebut tidak membawa kiriman beras dari Padang, sehingga mereka harus berjalan pulang dengan tangan hampa. Kini, sudah lebih dari 10 tahun Adam berada di Pulau Sipora. Namun, hasrat orang tuanya masih saja kuat meminta anak bungsunya itu pulang ke kampung halaman.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement