Selasa 11 May 2010 00:08 WIB

Kisah Seorang Single Parent yang Menyejukkan Hati

Rep: S Adhiatmoko/ Red: irf

Sore, akhir pekan lalu, saya berbincang dengan Marhamah. Perempuan paruh baya yang menghidupi tiga anaknya sejak 10 tahun terakhir, karena suaminya meninggal. Ia menetap di pinggiran Pamulang, berbatasan dengan Bogor dan Tangerang. Banyak sesungguhnya kaum single parent seperti Marhamah di sekitar kita. Tapi, kegelisahan hati perempuan itu, tak banyak dimiliki manusia ke banyakan.

“Sama-sama cari rezeki. Meski sedikit ya harus berbagi,” terang Marhamah membuka perbincangan. Ia, pedagang jajanan ringan di sekolah TK dekat rumahnya. Pengelola sekolah memberi keleluasaan Marhamah untuk berdagang, agar dapat menghidupi keluarga. Tiap hari, keuntungannya tak lebih dari Rp 15 ribu. Namun ia tegar, tak pernah mengeluh.

Seiring hari, Marhamah yang tinggal di kampung dengan penduduk mayoritas dhuafa itu, didatangi tiga orang tetangganya. Mereka minta ijin ikut berdagang di sekolah. Tak ada kata mengelak, Marhamah legowo mengijinkan tiga orang itu ikut berdagang.

“Asal rukun ya, rezeki mah sudah diatur sama Allah”, pesan Marhamah yang tak berniat memonopoli. Akhirnya ia berdagang hanya pada pagi hari. Sorenya saat anak-anak belajar ngaji di sekolah itu, giliran tetangganya yang berdagang.

Tak jauh dari kampung Marhamah, ber operasi dua mini market yang bersaing ketat. Kehadiran swalayan mini itu, perlahan membunuh toko kelontong yang su dah puluhan tahun berdagang lebih dulu. Para pemilik toko kecil, pedih, malu-malu, tutup pintu. Tak pernah buka lagi. Karena, pembeli memilih belanja di etalase yang rapi dan sejuk.

Entah mengapa mini market bisa merangsek, tembus jantung kampung-kampung dan pelosok. Kehadirannya, mengoyak sendi ekonomi rakyat jelata yang tumbuh dari bawah. Perkembangannya masif, tak terbendung lagi. Dampaknya, toko ke lontong tutup pintu secara perlahan.

Mungkin, memang ini dampak dari pilih an ekonomi kapitalis yang telah jadi kiblat bangsa ini. Kelompok berkuasa, selalu me mo nopoli dan mati rasa untuk memikirkan kaum jelata. Kadang, cara berpikir Marhamah jauh lebih dibutuhkan untuk mengatur keadilan di negeri ini. Selalu melihat kehidupan sekitar dan menolong yang lemah. Kelewat banyak orang pintar tapi minteri, berjibun cerdik pandai tapi berlaku penipu.

Kita diurus orang yang pintar minteri dan cerdik ngibuli. Kadang, mereka tanpa sadar kita puja dan jadikan pahlawan. Jika dirasa, darah seakan mendidih. Melihat laku kehidupan orang-orang yang kita pandang hebat, tapi ciut tak pernah berpihak pada masyarakat kecil. Sebagai pendingin hati, berjumpa orang-orang seperti Marhamah membuat hati lebih sejuk. Wallahu’alam.

sumber : Baznas
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement