REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Peristiwa subuh, 27 Maret 2009 masih membekas di benak Samidi. Kala itu dia tengah berbelanja ke pasar lebih banyak dari biasanya. Kebetulan kantin miliknya dapat pesanan makanan untuk sebuah acara.
Harusnya malam itu dia menginap di kantin Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyyah Jakarta (UMJ), tempat dia menjaring nafkah sehari-hari. Namun, anak bungsunya yang berusia 10 tahun lagi rewel sehingga dia putuskan tidur di rumah. Hikmahnya, Samidi selamat dari peristiwa jebolnya tanggul Situ Gintung.
Pagi itu terasa mencekam sukma Samidi. Orang-orang menjerit minta tolong. Tangisan di mana-mana. Sementara air masih memenuhi lingkungan kampus UMJ yang berada di tempat rendah. Samidi tak bisa berkata-kata ketika melihat kantinnya tenggelam sedalam dua meter. Di sana-sini orang-orang masih terdengar menangis. Ada yang meratap kehilangan.
Tak sedikit dari mereka kehilangan orang-orang yang dikasihi. Sebagian kehilangan harta benda, seperti Samidi. Lelaki asal Wonogiri itu terdiam lama dan seperti menyesali apa yang telah terjadi, “Kok begini amat ya…!” keluhnya. Setengah jam dia merenung tak jauh dari lokasi kantin, akhirnya dia menyadari itu semua merupakan ujian. “Walaupun warung hancur, Allah masih memberi kesempatan hidup padaku,” renungnya ketika itu.
Ucapan syukur Samidi tak putus-putus. Samidi merasa penghidupannya tak berhenti sampai di situ, walau usahanya ludes diempas air bah. Air setinggi dua meter itu telah meluluhlantakkan mata penghidupan ayah tiga anak itu.
Irama hidup Samidi berubah. Beberapa hari sesudah kejadian, seperti warga lain, dia turut membantu para korban tragedi. Menurutnya, banyak orang yang lebih membutuhkan pertolongan ketika itu. Banyak warga dibantu para relawan melakukan evakuasi mayat-mayat korban. Samidi dan warga umumnya belum bisa berkonsentrasi lagi pada pekerjaan masing-masing. Terlebih mereka yang habis tempat dan peralatan usahanya.
Saat Samidi mulai memikirkan kembali usahanya, dia bertemu relawan program pemulihan ekonomi di wilayah pascabencana yang dijalankan Masyarakat Mandiri Dompet Dhuafa. Sosok Samidi cukup menonjol. Pendamping di lapangan sangat terbantu dengan peranan Samidi. Program ini menjangkau para pedagang kecil sekitar wilayah bencana.
Dengan modal dan pendampingan, Samidi menghidupkan kembali usaha kantin di dalam kampus UMJ. Namun, dia tak ingin sekadar bangkit, tapi harus membuat banyak orang turut bangkit. Dia sosok yang memiliki semangat yang bisa memotivasi mitra-mitra dampingan lainnya. Beberapa bulan setelah program berjalan, Samidi dipercaya para mitra dampingan menjadi pimpinan lembaga lokal yang menaungi para mitra dampingan yang tergabung dalam beberapa kelompok.
Ikhtiar Swadaya Mitra (ISM) Sigi Mandiri, begitu nama lembaga lokal yang dipimpin Samidi. Lembaga ini telah menaungi sekitar 80 orang mitra dampingan. Sebanyak 45 orang di antaranya merupakan pedagang kecil makanan di sekitar Kampus UMJ. Tak sedikit kendala yang dihadapi pria yang berjualan makanan selama 23 tahun itu dalam memimpin organisasi para pedagang kecil. Di antaranya kredit macet.
Nah, pada titik-titik rawan seperti ini, Samidi dituntut kearifannya. “Nurani yang berbicara, Mas. Saya dan pengurus lain berusaha agar mereka yang jujur dan butuh modal ini bisa terpenuhi modalnya,” ujarnya.
Dua bulan terakhir, ISM telah memiliki badan hukum koperasi. Samidi dan kawan-kawan punya beberapa rencana selain usaha simpan-pinjam yang dijalankan selama ini. Seorang karyawan pabrik tahu kini bisa mandiri memiliki pabrik tahu sendiri karena pembiayaan dari ISM. Pembiayaan ini menggunakan model bagi hasil. Kesuksesan ini dijadikan tonggak untuk melangkah lebih maju. Ke depan, koperasi berencana membuat kafe-kafe kecil tempat orang menikmati makanan jajanan sehat.
Di masa perintisan koperasi, Samidi dan kawan-kawan pengurus memulai dengan modal ikhlas. “Kita jangan ngarepin gaji. Yang penting ikhlas buat memajukan ISM. Meski kecil yang kita lakukan, tapi penuh keikhlasan,” pesan Samidi pada pengurus yang lain.