REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA-–Rancangan peraturan daerah (Raperda) mengenai tata ruang wilayah (RTRW) 2030 tak mungkin selesai tahun ini. Sebab, pembahasan ditingkat dewan masih memerlukan proses dan tahapan panjang. Salah satunya melibatkan dan mendengarkan aspirasi masyarakat.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sarwo Handayani mengakui hal tersebut. “Targetnya akhir Desember tahun ini selesai, tapi karena masih ada proses untuk melibatkan masyarakat, kami belum yakin Raperda itu bisa disahkan secepatnya,” katanya pada acara diskusi Akses Informasi Publik di Hotel Nikko, Jakarta.
Saat ini, lanjutnya, rancangan itu sudah masuk meja DPRD. Tetapi, untuk pengesahan butuh waktu untuk mengecek apakah Raperda itu sudah memenuhi criteria yang ditetapkan. Dalam prosesnya, akan ada masukan dari berbagai pihak, termasuk muatan yang mungkin bisa diterima oleh masyarakat.
Maka, yang diperlukan adalah masukan dari berbagai kelompok warga, elemen masyarakat, lembaga swadaya masyakarat (LSM), akademisi, dan pegiat lingkungan. Termasuk dari pengusaha dan pihak swasta lainnya. “Raperda RTRW itu harus dipahami masyarakat karena untuk membuat Jakarta lebih nyaman,” katanya pada Selasa, (16/11).
Ia menjelaskan, secara sederhana, RTRW itu merupakan dokumen yang mengatur semua kebutuhan atas ruang di Jakarta. Jika Jakarta tak memiliki Perda ini, dikhawatirkan akan terjadi persaingan ego antar-sektor seperti bisnis, pemukiman, dan pertamanan. “Kalau tidak dijembatani dengan Perda ini, Jakarta akan semakin simpang siur,” katanya.
Sebab, Raperda ini mengatur mengenai struktur ruang, system sarana primer, kawasan strategis provinsi, hingga ketentenuan umum yang berkaitan dengan zonasi. Artinya, akan ada pengaturan struktur peruntukkan lahan, intensitas pemanfaatan lahan, tata bangunan, system sirkulasi dan jalur penghubung, system ruang terbuka serta tata hijau.
Di dalam Raperda ini pun mencakup isu yang menjadi masalah krusial di Jakarta. Contohnya, kemacetan, pengendalian banjir, ruang terbuka hijau (RTH), gejala perubahan iklim, peningkatan konsumsi energy, perubahan perekonomian dan keuangan dunia, tekanan pendudukan dan permasalahan social, keterbatasan penyediaan air bersih, pengelolaan limbah cair, dan pengelolaan sampah, hingga kesiapan mitigasi bencana serta keterbataan pendanaan pembangunan.
Sayangnya, rancangan ataupun pembahasannya dianggap belum mampu menjangkau masyarakat luas. Sebab, tak banyak warga yang mengerti tentang pentingnya Raperda ini ataupun dampaknya di masa mendatang. Peneliti dari Indonesian Center For Environmental Law (ICEL), Irfan Pulungan mengatakan pernah mengadakan survey sejak 31 Januari-30 April 2010 kepada 1101 responden. Penelitian ini melalui media online dan responden langsung.
Hasilnya, sebanyak 95 persen warga tidak pernah ditanya mengenai aspirasi tentang penyusunan Raperda ini. “Artinya, banyak orang yang tidak tahu dan tidak paham mengenai keberadaan Raperda ini termasuk untung dan ruginya,” kata lelaki yang juga sebagai pemerhati kebijakan tata ruang.
Ia menilai Pemprov memiliki empat masalah dalam proses penyusunan raperda yaitu; tidak adanya system informasi yang akurat tepat sasaran dan tepat waktu. Permasalahan lain, tidak adanya konsistensi pemerintah dengan rencana tata ruang yang ada, lemahnya system pengawasan dan evaluasi, serta kurang efektifnya penataan dan penegakkan hukum terhadap pelanggaran rencana tata ruang yang terjadi.
“Akibatnya, tertutupnya pertisipasi public dalam perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasan penataan ruang,” ujarnya.
Komisioner Komisi Informasi Pusat, Dono Prasetyo mengatakan seharusnya akses masyarakat untuk informasi mengenai Raperda RTRW dibuka seluas-luasnya. Pemprov dinilainya memiliki kewajiban untuk mengembangkan system informasi yang lebih baik ke masyarkat. “Jangan menyalahkan masyarakat jika mereka tidak tahu mengenai hal ini,” katanya.
Ia menyarankan bukan hanya membuka akses masyarakat, melainkan juga Pemprov sebaiknya mengemas inti Raperda RTRW secara sederhana sehingga bisa dipahami oleh masyarakat awam. “Bagaimana caranya agar menjadi informasi yang simple sehingga bisa terbaca,” katanya.
Apalagi, Raperda ini baru dirancang dibeberapa kota saja seperti Bali, Makassar, dan Lampung. Artinya, pemerintah punya tugas untuk menjelaskan secara terperinci keberadaan Raperda begitu pula mengenai dampak yang ditimbulkan dan sanksi yang mungkin dikenakan.