Jumat 03 Dec 2010 04:39 WIB

YLKI: Pajak Warteg Tak Manusiawi

Rep: Fitriyan zamzami/ Red: Siwi Tri Puji B

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Tahun depan, ada kemungkinan pelanggan warteg harus membayar lebih mahal untuk makanan yang biasanya diniatkan untuk penghematan ini. DPRD DKI dan Pemprov seiya-sekata ingin menarik pajak sebesar 10 persen dari penghasilan warteg-warteg yang tersebar di seantero Jakarta ini.

Tulus Abadi, Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyatakan ide itu tak cerdas dan tak manusiawi. "Warteg itu kan usaha mikro. Yang terlibat di dalamnya banyak orang-orang kelas menengah ke bawah. Terutama konsumennya. Semestinya pemerintah bukan malah memberi pajak, tapi memberikan insentif, suntikan dana," ujarnya.

Pajak, katanya, tak hanya memberatkan penjual tapi juga pembeli. "Bagaimanapun, secara sosial maupun secara ekonomi, warteg ini kan kelas mikro. Jadi saya kira sangat tidak patut diberi beban pajak."

Lebih dari itu, penerapan pajak juga dikhawatirkan mematikan usaha warteg. "Padahal usaha warteg itukan usaha ekonomi kerakyatan yang seharusnya dibina dan diberikan insentif oleh pemprov," katanya.

Kalau sekadar mencari pajak, sekedar menambah pendapatan daerah dari pajak, masih banyak tempat-tempat lain yang lebih profitable dan lebih ekonomis.  Misalnya restoran-restoran besar atau tempat-tempat hiburan.

"Orang yang makan di warteg itu orang yang makan karena kebutuhan dia untuk makan. Karena dia lapar. Kalau di restoran besar, orang di sana kan makan bukan karena dia lapar, tapi karena ada prestise-nya, sehingga wajar diberi pajak yang mahal. Kalau warteg itu kan orang sekedar untuk hidup. Kok masih juga dipajakin, konyol itu menurut saya."

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement