Selasa 09 Nov 2010 17:29 WIB

Nikmati Tiwul Instan Persembahan Sumarsih

Rep: heri dk/ Red: irf
Sumarsih (tengah)
Foto: dompetdhuafa
Sumarsih (tengah)

REPUBLIKA.CO.ID, LAMPUNG SELATAN--Alam Desa Tambah Subur, Kecamatan Way Bungur, Lampung Selatan senantiasa mengajak warganya mengolah apa yang disediakan oleh alam. Singkong menjadi primadona pertanian warga desa ini sejak 1955. Lebih dari setengah abad silam, para perintis, termasuk orangtua Sumarsih, membuka lahan untuk kemudian ditanami singkong.

Singkong menjadi makanan sehari-hari warga asal Jawa yang bertransmigrasi ke wilayah Lampung Timur seperti orangtua Sumarsih. Singkong diolah menjadi gaplek lalu diubah menjadi tiwul yang menjadi makanan pokok keluarga seperti di Wonogiri atau Trenggalek. Nasi mulai mereka kenal lagi setelah pemerintahan Presiden Soeharto mengajak warga menanam padi dan nasi menjadi makanan pokok.

Generasi berganti. Sumarsih dan kakak-kakaknya kini tetap menikmati tiwul. Di keluarganya, tiwul bergantian disajikan dengan nasi. Terkadang juga berbarengan, dan tentu dengan sayur dan lauk-pauk sekadarnya.

Sumarsih dan keluarga besarnya sehari-hari bercocok tanam singkong atau ubi kayu, seperti warga Tambah Subur umumnya. Singkong benar-benar menjadi andalan. Dari singkong pula, Sumarsih membuat makanan berbahan singkong semacam cenil yang kemudian dijual di pasar pagi yang buka cuma satu jam dalam sehari.

Beberapa perempuan tetangga juga menjual penganan lain berbahan singkong seperti getuk. Program pendampingan Masyarakat Mandiri Dompet Dhuafa menggali potensi para perempuan ini dengan memanfaatkan sumber daya lokal yang mereka miliki. Kelompok Jaya Makmur yang beranggotakan perempuan memiliki ide mengembangkan tiwul agar bisa dikonsumsi lebih luas. Gagasan mereka juga didorong karena semakin langkanya tiwul.

“Boleh dibilang, sekarang tiwul mulai punah. Kita mikir bikin tiwul instan, biar orang yang butuh mudah mencari. Alhamdulillah, orang-orang yang beli datang dari jauh. Orang mulai kenal dan mencari ke sini. Orang sekarang kan pilih enaknya,” ujar Sumarsih. Ya, tiwul instan. Selama ini belum ada yang menjual tiwul yang bisa diproduksi secara instan. Kelompok pimpinan Sumarsih memang belum memasarkan tiwul ini ke luar desa. Tapi, calon pembeli bisa mendatangi rumah kakaknya yang dijadikan tempat produksi. Para peminat tiwul instan ini di antaranya para penderita diabetes, karena kadar gula tiwul tergolong cukup rendah.

“Kami inginnya sih bisa memasarkan tiwul instan ke mana-mana. Di desa Tambah Subur ini saja mulai jarang yang membuat tiwul karena sudah ada nasi,” tambah Sumarsih. Dengan inovasi produksi makanan berbahan singkong ini, Sumarsih dan rekan-rekannya ingin meningkatkan perolehan pendapatan. Dia berharap keadaan ekonomi yang pas-pasan bisa mulai membaik. Baru tahun kemarin, dia sempat menelan pil pahit. Anaknya yang lulus SMP tidak bisa melanjutkan ke jenjang SMA. Si bocah harus mengalah pada adiknya yang baru masuk SD.

Sumarsih dan petani singkong di Desa Tambah Subur mencintai dunia pertanian yang diretas oleh orangtua mereka. Kelompok-kelompok yang menyokong pengembangan pertanian dan pengolahan turunan singkong dibentuk untuk membuka peluang-peluang dan harapan baru yang lebih baik.

sumber : dompet dhuafa
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement