REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA--Sepuluh lembaga agama di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, menyatakan sikap terhadap keistimewaan provinsi tersebut dengan penetapan gubernur dan wakil gubernur bukan dengan pemilihan. "Kami menyatakan sikap bahwa pengangkatan gubernur dan wakil gubernur adalah melalui mekanisme penetapan, yaitu dari Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paduka Paku Alam yang sedang bertahta," kata Ketua Majelis Ulama
Indonesia (MUI) DIY Thoha Abdurrahman ketika membacakann pernyataan sikap lembaga-lembaga agama tersebut di Yogyakarta, Senin (20/12). Pernyataan sikap dari lembaga-lembaga agama tersebut didasarkan pada berlarut-larutnya pembahasan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK) DIY dan di dalamnya kurang dapat mengakomodasi keinginan masyarakat di wilayah DIY, salah satunya adalah munculnya pemikiran untuk pemilihan gubernur dan wakil gubernur.
Thoha menyatakan khawatir pemilihan gubernur dan wakil gubernur DIY seperti yang dilontarkan pemerintah pusat, justru akan menimbulkan perpecahan di Yogyakarta yaitu antara Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dengan masyarakat di wilayah tersebbut. "Kami ingin agar Indonesia ini tetap utuh sebagai NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), dan jangan dianggap bahwa penetapan gubernur dan wakil gubernur itu tidak demokratis. Ada unsur musyawarah mufakat di dalamnya yang merupakan esensi dari demokrasi itu sendiri," ujarnya.
Sementara itu, L Herman Simanjuntak perwakilan dari PGI mengatakan, surat pernyataan sikap tersebut telah dikirimkan kepada Presiden Republik Indonesia, Menteri Dalam Negeri dan juga kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). "Kami berharap, pemerintah dapat mendengar suara dari masyarakat Yogyakarta. Semakin banyak suara yang menyatakan penetapan, maka akan semakin baik," katanya.
Selain sepuluh lembaga agama yang telah menyatakan sikap tersebut, lanjut dia, juga akan ada beberapa lembaga agama lain yang juga akan menyatakan sikap yang sama kepada pemerintah.