REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X mempertanyakan apakah tradisi yang terjadi selama ini di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) membahayakan bagi keselamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sehingga harus diubah. "Apabila berkeinginan mengubah tradisi yang telah mapan, maka harus mampu menjelaskan bahwa yang berlaku selama ini membahayakan bagi keselamatan NKRI dan kelestarian DIY, apabila tidak bisa membuktikan maka telah melanggar prinsip kebijakan penguasa harus berpijak pada kemaslahatan umat," kata Gubernur DIY Sri Sultan HB X saat memeberikan penjelasan kepada Komisi II DPR Senayan Jakarta, Selasa (1/3).
Sri Sultan HB X dan Sri Pakualam VIII diundang Komisi II DPR untuk memberikan masukan untuk masukan bagi pembahasan RUU Keistimewaan DIY. Sebelumnya Sultan menjelaskan selama ini tradisi yang ada di DIY tidak menimbulkan bahaya dan mengancam keutuhan NKRI maupun kehidupan umat.
Karena itu, tambah Sultan, pembuat UU wajib memperhatikan dan mengikuti kehendak umat yang telah merasa nyaman dengan kebiasaan baik yang berlaku dalam tatanan sosial politik di daerahnya. Pada saat itu Sultan Hamengkubuwono X meminta seluruh masyarakat untuk tidak resisten dengan demokrasi yang telah berjalan selama ini di Daerah Istimewa Yogyakarta.
"Seharusnya kita semua tidak resisten denga demokrasi yang terjadi di DIY yang lebih mementingkan musyawarah," kata Sultan. Menurut Sultan saat ini demokrasi di Indonesia hanya dimaknai dengan pemilihan langsung tanpa menghiraukan kearifan masyarakat sehingga tak lebih sebagai westernisasi.
Sultan menjelaskan bahwa dalam pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY selama ini dilakukan melalui DPRD yang merupakan representasi dari masyarakat. "Bagi masyarakat Yogyakarta, keistimewaan bukan saja memberikan Hak privilige atas keturunan raja, melainkan memberikan keistimewaan bagi masyarakat Yogyakarta atas peranannya dalam masa kemerdekaan NKRI," kata Sultan.
Lebih lanjut Sultan menegaskan melihat realita dan dinamika rakyat DIY yang sebagian besar menginginkan seperti yang selama ini terjadi harus juga diakui. Menurut Sultan keistimewaan DIY sudah diatur dalam Pasal 18 B UUD 45. "Maka apa yang telah berjalan dalam pengisian gubernur DIY selama ini sudah berjalan demokratis. Karena itu tidaklah berlebih jika keistimewaan DIY masih layak diterima tidak saja sebagai penghormatan yuridis, filosofis maupun sosiologis," kata Sultan.
Sebelumnya Sultan juga menjelaskan bahwa jauh hari sebelum Indonesia merdeka terdapat setidaknya 250 masyarakat hukum adat yang sudah ada. Dua diantaranya tambah Sultan adalah masyarakat hukum adat Kasultanan Ngayogyakarta dan Pakualaman. Untuk Kasultanan Ngayogyakarta dan Pakualaman tambah Sultan bahkan sudah diakui oleh Ratu Welhemina sebagai sebuah negari merdeka yang secara hukum internasional sama sebagai negara merdeka seperti negara di dunia lain.
Sehingga saat RIS, Belanda tidak bisa masuk ke Ngayogyakarta dan Pakualaman dihormati sebagai negara sendiri. "Karena itu ketika terjadi penjajahan di Indonesia, Belanda tidak masuk ke Negari Ngayogyakarta dan Pakualaman karena dihormati sebagai negari berdaulat," kata Sultan. Karena itu tambah Sultan, keistimewaan DIY harus difahami secara utuh untuk memahami simbol-simbol yang ada.