REPUBLIKA.CO.ID,SURABAYA--Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya menyatakan Pemkot Surabaya bisa dikatakan melanggar hak asasi manusia (HAM) jika menghalang-halangi warganya untuk mendapatkan identitas kependudukan seperti halnya kartu tanda penduduk (KTP). Direktur LBH Surabaya M.Syaiful Aris, Selasa, mengatakan, kepemilikan identitas warga adalah hak bagi semua warga.
"Yang namanya kartu identitas untuk warga tidak bisa disangkutkan pautkan dengan tanah yang ditempati mereka. Sebab, pemerintah wajib memberikan kepastian identitas terhadap warganya tanpa harus melihat status tanah yang ditempati," katanya.
Menurut dia, mencantumkan syarat mengurus KTP dengan keabsahan tanah yang ditempati itu, sudah tidak tepat lagi. Meski Pemkot sudah lunas dengan memperbolehkan mereka yang mengurus KTP ini cukup membawa foto copy sertifikat tanah atas seizin pemilik tanahnya. Namun akan muncul kendala jika tanah itu bersengketa tentu yang menempati tanah tersebut tidak bisa mengurus KTP karena kesulitan meminjam sertifikat.
Ia menambahkan ini semua bersumber dari perda kependudukan. Makanya beberapa waktu lalu, ia melakukan judicial review ke Mahkamah Agung (MA). Sayangnya, upaya yang dilakukan ini gagal di tengah jalan karena permohonan judicial review lewat Pengadilan Negeri (PN) Surabaya ternyata lambat sehingga MA menolak kasusnya dengan alasan kelebihan waktu.
"Jika memang ada masyarakat yang mau menggugat soal perda administrasi kependudukan karena dirasakan menyulitkan warga, kami siap mengawal. Bahkan kami juga melakukan pendampingan terhadap warga Dukuh Kupang Barat yang sampai sekarang tidak bisa mengurus KTP," ucapnya.
Sementara Raperda tentang administrasi kependudukan belum ada tanda-tanda bakal disahkan. Pasalnya antara sikap panitia khusus (pansus) DPRD Surabaya dengan pemkot Surabaya masih bertolak belakang khususnya menyangkut pasal 13 yang intinya menyebutkan KTP hanya bisa diberikan kepada penduduk yang menempati bangunan/persil yang sah.
Pansus tetap menginginkan pasal ini dihapus, sedangkan pemkot berkeinginan pasal tersebut dipertahankan. Masing-masing memiliki alasan yang kuat sehingga hal ini membuat pembahasan raperda yang kembali dilakukan batal membuahkan titik temu.
"Banyak warga kota yang tidak memiliki KTP gara-gara syarat soal tanah. Maka pemkot harus mampu memberikan solusi bagaimana warga yang tidak ber-KTP bisa memiliki KTP. Jika solusi tidak ada, pansus tetap akan menghapus pasal tersebut," tegas Ketua Pansus Raperda
Administrasi Kependudukan DPRD Surabaya Agus Santoso.
Untuk diketahui sekitar 100 ribu warga Surabaya tidak memiliki KTP gara-gara tanah yang ditempati bukan miliknya. Mereka itu kebanyakan ada di stren kali, pinggir rel, menempati lahan sengketa seperti di Kalianak, Bendul Merisi dan masih banyak lagi.