REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah melakukan audit atas laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP). Dalam hasil audit itu, terdapat beberapa hal yang membuat Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia (RI) merasa perlu untuk melakukan pembenahan terhadap pemerintah.
Wakil Ketua Komite IV DPD Ajiep Padindang mengatakan, dirinya cukup prihatin atas adanya penurunan jumlah Lembaga atau Kementrian (L/K) yang berhasil meraih opini wajar tanpa pengecualian (WTP). “Ini harus dibenahi,” katanya kepada Republika, Jumat (5/6).
Berdasar laporan BPK yang disampaikan kapada DPD dalam sidang paripurna luar biasa di Gedung Nusantara V, Kamis (4/6), ditemukan bahwa hanya terdapat 62 L/K yang mendapat opini WTP. Padahal, pada periode tahun sebelumnya, BPK memberikan opini WTP kepada 65 L/K.
“Kami akan lakukan pembedahan, agar penurunan ini tidak terulang kembali,” ujar dia. Menurutnya, DPD akan berfokus untuk melakukan pembedahan pada kewajiban pemerintah pusat kepada daerah serta hak daerah dari pemerintah pusat.
Ia mengatakan hal yang harus ditelusuri adalah banyaknya transaksi yang tidak dilengkapi dengan dokumen pendukung yang lengkap. Tentu hal ini merupakan potensi terjadinya penyalahgunaan.
Selain penurunan jumlah opini WTP, BPK juga melaporkan terdapat peningkatan L/K yang mendapat disclaimer of opinion (tidak menyatakan pendapat). Opini ini menunjukan bahwa BPK tidak dapat memastikan apakah laporan keuangan pada L/K tertentu tersebut disajikan secara wajar atau tidak.
BPK memberikan opini itu karena terdapat beberapa L/K yang membatasi ruang lingkup auditor. Salah satu potensi pembatasan adalah BPK tidak memperoleh bukti-bukti transaksi yang dibutuhkan untuk dapat menyimpulkan dan menyatakan laporan sudah disajikan dengan wajar.
Pada laporan keuangan 2013, ditemukan hanya terdapat 3 L/K yang memperoleh disclaimer of opinion. Dari hasil audit BPK yang dilakukan selama dua bulan pada awal 2015, ditemukan bahwa terdapat 7 laporan keuangan periode 2014 yang memperoleh disclaimer of opinion.