REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peristiwa yang dialami Angeline, bocah delapan tahun yang sebelumnya dikabarkan hilang, tetapi ternyata telah dibunuh secara sadis, harus dijadikan momentum untuk menyatakan perang terhadap segala macam bentuk kekerasan terhadap anak.
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia (RI) menilai, tersangka pembunuh Anggeline layak untuk mendapat hukuman mati. Wakil Ketua Komite III DPD Fahira Idris mengatakan, hukuman itu diperlukan untuk memberi shock therapy.
Hukuman itu layak bagi para pelaku kekerasan terhadap anak, agar orang-orang masyarakat berpikir dua kali sebelum melakukan kekerasan terhadap anak. “Di Dor saja,” katanya dalam siaran pers kepada Republika pada Jumat (12/6).
Ia menilai, diperlukan shock therapy untuk menyadarkan masyarakat bahwa kekerasan terhadap anak apalagi sampai menghilangkan nyawa adalah kejahatan luar bisa. Sama seperti korupsi dan terorisme. Berdasarkan autopsi tim forensik, sebelum menghembuskan nafas terakhir, Angeline mengalami berbagai penyiksaan mulai dari fisik, seksual dan psikologis.
Bahkan dari pengakuan Agus, satpam rumah Margareta (ibu angkat Angeline) yang sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus pembunuhan Angeline, dia juga melakukan pemerkosaan terhadap Angeline sebelum dibunuh. Setelah menjadi jasad, Angeline masih disetubuhi oleh pelaku.
“Siapapun pembunuh Angeline, ia layak dihukum mati,” ucap dia.